Pembahasan UC 2 CBT Mei 2019 PDF - PDFCOFFEE.COM (2024)

DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR. RETNO | DR. ORYZA | DR. REZA | DR. RESTHIE | DR. CEMARA | DR. OKTRIAN | DR. RIFDA | DR. RYNALDO

OFFICE ADDRESS: Jakarta Medan Jl. Layur Kompleks Perhubungan VIII No.52 RT.001/007 Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15 Kel. Tanjung Kel. Jati, Pulogadung, Jakarta Timur Tlp 021-22475872 Sari, Kec. Medan Selayang 20132 WA. 081380385694/081314412212 WA/Line 082122727364

www.optimaprep.co.id

ILMU P E N YA K I T DALAM

1. EKG pada Soal

1. TAKIKARDIA: DIAGNOSIS BANDING Supraventricular tachycardia (SVT) Sinus tachycardia Reguler Atrial flutter QRS sempit

AV nodal reentry tachycardia

Ireguler

Atrial fibrillation

Takikardia Ventricular tachycardia Reguler SVT with BBB QRS lebar Ireguler

Polymorphic VT

SUPRAVENTRICULAR TACHYCARDIA

SINUS TACHYCARDIA

ATRIAL FLUTTER

ATRIAL FIBRILLATION

MONOMORPHIC VENTRICULAR TACHYCARDIA

POLYMORPHIC VENTRICULAR TACHYCARDIA (TORSADE DE POINTES)

Algoritma Takikardia

2. Penanganan Dispepsia Perubahan pola makan, menjauhi makanan yang memicu gejala dyspepsia harus dilakukan, antar lain: • Menghindari makanan pedas • Menghindari kopi, karena kopi dapat menyebabkan peningkatan sekresi asam lambung serta dihubungkan denganresiko infeksi H. pylori • Menghindari konsumsi alkohol • Diet tinggi serat • Pola makan teratur dengan selingan makanan

Penanganan Dispepsia • Medikamentosa: – Antacid: Terutama digunakan dalam memperingan gejala nyeri ulu hati/dyspepsia. Yang paling umum digunakan adalah gabungan Al(OH)3 dan Mg(OH)2, bekerja dengan menetralisir asam lambung berlebihan – H2 reseptor antagonis. Contoh: cimetidine, ranitidine, famotidine, nizatidine. – Proton pump inhibitor (PPI).Bekerja amat poten dalam menghambat asam lambung, onset dalam 26 jam dengan durasi aksi 72-96 jam. Contoh obat: omeprazole, lansoprazole, esomeprazole, pantoprazole.

Dispepsia

Ya

Tidak

3. LEPTOSPIROSIS • Penyebab: Leptospira (hanya dapat dilihat dengan mikroskop lapang gelap) • Transmisi: melalui binatang yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa atau kulit yang tidak utuh • Masa inkubasi sekitar 10 hari (2-30 hari).

• Leptospirosis berat disebut sebagai Weil’s disease, ditandai dengan adanya ikterik. • Sebenarnya self-limited, tetapi bila tidak diobati bisa menimbulkan komplikasi seperti gagal ginjal, rhabdomyolisis, uveitis, ARDS, miokarditis.

Infeksi Infection through the mucosa or wounded skin

Proliferate in the bloodstream or extracellularly within organ

Disseminate hematogenously to all organs Multiplication can cause: • Hepatitis, jaundice, & hemorrhage in the liver • Uremia & bacteriuria in the kidney • Aseptic meningitis in CSF & conjunctival or scleral hemorrhage in the aqueous humor • Muscle tenderness in the muscles Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.

Gejala dan Tanda • Demam tinggi mendadak • Nyeri otot dan sendi • Sakit kepala • Diare • Mual muntah

• Injeksi konjungtiva • Ikterik • Nyeri tekan gatroknemius • Splenomegali • Hepatomegali • Ruam di kulit • Edema

Infeksi • Anicteric leptospirosis (90%), follows a biphasic course: – Initial phase (4–7 days): • sudden onset of fever, • severe general malaise, • muscular pain (esp calves), conjunctival congestion, • leptospires can be isolated from most tissues.

– Two days without fever follow. – Second phase (up to 30 days): • leptospires are still detectable in the urine. • Circulating antibodies emerge, meningeal inflammation, uveitis & rash develop.

– Therapy is given for 7 days: • Doxycycline 2x100 mg (DOC) • Amoxicillin 3x500 mg • Ampicillin 3x500 mg

• Icteric leptospirosis or Weil's disease (10%), monophasic course: – Prominent features are renal and liver malfunction, hemorrhage and impaired consciousness, – The combination of a direct bilirubin < 20 mg/dL, a marked  in CK, &  ALT & AST male, >50 tahun, obesitas

Female>male 40-70 tahun

Male>female, >30 thn, hiperurisemia

Male>female, dekade 2-3

gradual

gradual

akut

Variabel

Inflamasi

-

+

+

+

Patologi

Degenerasi

Pannus

Mikrotophi

Enthesitis

Poli

Poli

Mono-poli

Oligo/poli

Tipe Sendi

Kecil/besar

Kecil

Kecil-besar

Besar

Predileksi

Pinggul, lutut, punggung, 1st CMC, DIP, PIP

MCP, PIP, pergelangan tangan/kaki, kaki

MTP, kaki, pergelangan kaki & tangan

Sacroiliac Spine Perifer besar

Bouchard’s nodes Heberden’s nodes

Ulnar dev, Swan neck, Boutonniere

Kristal urat

En bloc spine enthesopathy

Osteofit

Osteopenia erosi

erosi

Erosi ankilosis

-

Nodul subkutan, pulmonari cardiac splenomegaly

Tophi, olecranon bursitis, batu ginjal

Uveitis, IBD, konjungtivitis, insuf aorta, psoriasis

Normal

RF +, anti CCP

Asam urat

Prevalens Awitan

Jumlah Sendi

Temuan Sendi Perubahan tulang

Temuan Extraartikular Lab

6. PNEUMONIA PADA PASIEN RAWAT INAP Pneumonia pada pasien rawat inap

Community acquired pneumonia

Healthcare associated pneumonia

Hospital acquired pneumonia

Terjadi dalam 48 jam pertama masuk rumah sakit

CAP yang terjadi karena kontak dengan petugas kesehatan. Mis: pasien HD rutin

Onsetnya setelah 48-72 jam masuk rumah sakit

Ventilator acquired pneumonia

Terjadi setelah 48 jam pasca intubasi

Am J Respir Crit Care Med Vol 171. pp 388–416, 2005 D OI: 10.1164/rccm.200405-644ST

Pneumonia • Hospital acquired pneumonia (HAP) atau pneumonia nosokomial adalah infeksi paru yang terjadi setelah > 48 jam dirawat di rumah sakit • Etiologi: S. Pneumoniae, H. influenza, MRSA, E. coli, Klebsiella, proteus

7. NEFROPATI DIABETIK • Merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal kronik. Ditandai dengan: • Albuminuria yang persisten (>300 mg/hari atau >200 μg/menit) pada dua kali pemeriksaan dengan jarak 3-6 bulan • Penurunan laju filtrasi glomerulus yang progresif • Peningkatan tekanan darah arteri

Patofisiologi Nefropati Diabetik

Nature Reviews Nephrology 10, 88–103 (2014) doi:10.1038/nrneph.2013.272

Diagnosis • Skrining untuk nefropati diabetik dilakukan melalui pemeriksaan urinalisis. • Mendeteksi adanya mikroalbuminuria, yaitu ekskresi albumin >20 μg/menit atau albumin/kreatinin (µg/g) >30. Keadaan ini menunjukkan nefropati diabetik insipiens yang masih reversibel dengan tatalaksana yang baik

• Pemeriksaan ureum, kreatinin, dan laju filtrasi glomerulus untuk memeriksa penurunan fungsi ginjal. • USG untuk memeriksa adanya perubahan struktur anatomi ginjal.

Tatalaksana Nefropati Diabetes

8. CARDIAC ARREST

Algoritma Cardiac Arrest ACLS 2015

Perawatan Pasca Resusitasi

9. COR PULMONALE • Cor pulmonale: – Dilation & hypertrophy of the right ventricle in response to diseases of the pulmonary vasculature and/or lung parenchyma. – Symptoms & signs: • Dyspnea, elevated JVP, hepatomegaly, ascites, lower extremity edema

Pemeriksaan Penunjang • Pemeriksaan darah – Peningkatan hematokrit (tanda polisitemia sekunder) – Defisiensi alpha1-antitrypsin – Antinuclear antibody (ANA) positif bila etiologinya penyakit kolagen vaskuler – Hiperkoagulasi (peningkatan proteins S dan C, antithrombin III, factor V Leyden, anticardiolipin antibodies, hom*osistein)

• Foto toraks – Gambaran dilatasi arteri pulmonal sentral – Hipertrofi ventrikel kanan

Pemeriksaan Penunjang

EKG dapat menunjukkan gambaran: • Deviasi aksis ke kanan • Gambaran hipertrofi ventrikel kanan • P-pulmonale yang nampak jelas pada lead II, III, AVF • RBBB • Low voltage QRS

Pemeriksaan Penunjang • Nuclear scanning  menilai V/Q (ventilation/ perfusion) • CT scan  untuk mengestimasi massa ventrikel kanan jantung

Tatalaksana Cor Pulmonale • Tatalaksana penyakit yang mendasari • Memperbaiki oksigenasi – Diberikan bila saturasi oksigen >88%, dengan target saturasi oksigen 88%.

• Medikamentosa

Tatalaksana Medikamentosa • Diuretik  untuk menurunkan load jantung • Calcium channel blocker, terutama slow release nifedipine dan diltiazem  vasodilatasi arteri pulmonal. • PDE-5 inhibitor (sildenafil)  melepaskan nitric oxide yang berfungsi untuk vasodilatasi • Antikoagulan (warfarin)  mencegah trombosis yang sangat sering terjadi pada pasien cor pulmonal

10. INFEKSI SALURAN KEMIH

Klasifikasi • Klasifikasi anatomik: – Bawah : uretritis, sistitis – Atas : pielonefritis, abses renal/perinefrik, prostatitis

• Klasifikasi klinis: – Uncomplicated: • ISK pada individu tanpa kelainan struktural atau fungsional, • ISK pada individu tanpa penyakit yang menimbulkan kerentanan ISK

– Complicated: • ISK pada laki-laki, • ISK pada kelainan struktural atau fungsional • ISK pada perempuan hamil, dengan kateter, imunodefisien, DM

Gejala Klinis dan Pemeriksaan Laboratorium 

Pielonefritis – Inflamasi pada ginjal & pelvis renalis – Demam, menggigil, mual, muntah, nyeri pinggang, diare, – Lab: silinder leukosit, hematuria, pyuria, bakteriuria, leukosit esterase +.

Sistitis:   

Inflamasi pada kandung kemih Disuria, frekuensi, urgensi, nyeri suprapubik, urin berbau, Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+) nitrit +/-.

Urethritis:   

Inflammation pada uretra Disuria, frekuensi, pyuria, duh tubuh. Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+), nitrit (-). Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.

Tatalaksana ISK

European Association of Urology, 2015

Bedakan ISK dengan Bakteriuria Asimtomatik Pada bakteriuria asimtomatik, tidak ada gejala apapun disertai dengan hasil pemeriksaan:

Tatalaksana Bakteriuria Asimtomatik • Secara umum,bakteriuria asimtomatik tidak diberi terapi apapun karena tubuh memiliki mekanisme klirens terhadap bakteri di saluran kemih. • Kecuali pada hamilBakteriuria asimtomatik pada ibu hamil tetap diberikan terapi sesuai terapi ISK pada kehamilan.

Analisis Soal • Pasien di atas tidak memiliki gejala apapun. • Hasil pemeriksaan urinalisis menunjukkan bakteri 100.000/ml, – karena pasien tidak ada gejala, maka disebut sebagai bakteriuria asimtomatik – juga tidak membutuhkan tatalaksana antibiotik kecuali bila terjadi pada ibu hamil.

11. Edema paru • Edema paru – karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik.

• Gejala dan tanda yang umumnya ditemukan: – – – –

sesak nafas Fatig Hypoxia rhonkie.

Tatalaksana • Posisi ½ duduk • Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit – bila perlu dengan masker – Jika memburuk maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator. – Perburukan bila: • pasien makin sesak, takipneu • ronchi bertambah • PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi • retensi CO2, hipoventilasi • tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat),

• Infus emergensi • Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.

Edema paru •

Nitrogliserin sublingual atau intravena – Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg (2tab) tiap 5 – 10 menit – Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. – Untuk menurunkan preload

Morfin sulfat 3 – 5 mg iv bila TD >100 mmHg – Morfin memiliki efek venodilator, mengurangi aliran darah balik, sehingga mengurangi preload & efek vasodilator ringan menurunkan afterload – Dapat diulang tiap 25 menit – total dosis 15 mg> pemberian ini bertujuan untuk menenangkan pasien

Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus – Furosemid IV 0,5-1 mg/kg untuk diuresis (efek kedua, dalam 30-60 menit) dan venodilator  aliran balik turun  preload turun (efek pertama/cepat, dalam 5 menit

Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) – Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit – Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik

Edema Paru Akut

12. Drug Induced Hepatitis

Drug Induced Hepatitis • Penatalaksanaan: – Bila gejala klinis (+) (ikterik, mual muntah)stop OAT – Bila gejala klinis (+) disertai enzim hati ↑ >3xstop OAT – Bila gejala klinis (-) disertai hasil laboratorium berikut: • Bilirubin >2stop OAT • Enzim hati ↑ >5xstop OAT • Enzim hati ↑ >3xteruskan pengobatan dengan pengawasan • Panduan OAT yang dianjurkan: – Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ) – Monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan Rifampisin desensitisasi sampai dengan dosis penuh. – Bila klinis dan laboratorium normal , tambahkan INH, desensitisasi sampai dengan dosis penuh sehingga menjadi RHES. – Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi.

Drug Induced Hepatit* ec. OAT (Pedoman Tb 2014) • Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh karena OAT, pemberian semua OAT yang bersifat hepatotoksik harus dihentikan. • Pengobatan yang diberikan Streptomisin dan Etambutol sambil menunggu fungsi hati membaik. • Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi hati kembali normal dan keluhan (mual, sakit perut dsb.) telah hilang sebelum memulai pengobatan kembali. • TB berat dan dipandang menghentikan pengobatan akan merugikan pasien, dapat diberikan paduan pengobatan non hepatatotoksik terdiri dari S, E dan salah satu OAT dari golongan fluorokuinolon.

Drug Induced Hepatit* ec. OAT (Pedoman Tb 2014) • Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu sampai 2 minggu setelah ikterus atau mual dan lemas serta pemeriksaan palpasi hati sudah tidak teraba sebelum memulai kembali pengobatan. • Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati berat, paduan pengobatan non hepatotoksik terdiri dari: S, E dan salah satu golongan kuinolon dapat diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan. • Setelah gangguan fungsi hati teratasi, paduan pengobatan OAT semula dapat dimulai kembali satu persatu. • Jika kemudian keluhan dan gejala gangguan fungsi hati kembali muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati kembali tidak normal, OAT yang ditambahkan terakhir harus dihentikan. • Beberapa anjuran untuk memulai pengobatan dengan Rifampisin. Setelah 3-7 hari, Isoniazid dapat ditambahkan. Pada pasien yang pernah mengalami ikterus akan tetapi dapat menerima kembali pengobatan dengan H dan R, sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan Pirazinamid.

Drug Induced Hepatit* ec. OAT (Pedoman Tb 2014) •

Paduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan fungsi hati. – Apabila R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian: 2HES/10HE. – Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan : 6-9 RZE. – Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan tahap awal, total lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan sampai 9 bulan.

• Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, paduan pengobatan OAT non hepatotoksik terdiri dari : S, E dan salah satu dari golongan kuinolon harus dilanjutkan sampai 18-24 bulan. • Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap awal dengan H,R,Z,E (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, berikan kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan dengan S untuk menyelesaikan 2 bulan tahap awal diikuti dengan pemberian H dan R selama 6 bulan tahap lanjutan. • Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap lanjutan (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, mulailah kembali pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap lanjutan.

13. Pneumonia • Cough, particularly cough productive of sputum, is the most consistent presenting symptom of bacterial pneumonia and may suggest a particular pathogen, as follows: – Streptococcus pneumoniae: Rust-colored sputum – Pseudomonas, Haemophilus, and pneumococcal species: May produce green sputum – Klebsiella species pneumonia: Red currant-jelly sputum – Anaerobic infections: Often produce foul-smelling or bad-tasting sputum

13. Pneumonia • Diagnosis pneumonia komunitas: Infiltrat baru/infiltrat progresif + ≥2 gejala: 1. Batuk progresif 2. Perubahan karakter dahak/purulen 3. Suhu aksila ≥38 oC/riw. Demam 4. Fisis: tanda konsolidasi, napas bronkial, ronkhi 5. Lab: Leukositosis ≥10.000/leukopenia ≤4.500 • Gambaran radiologis: – Infiltrat sampai konsolidasi dengan “air bronchogram”, penyebaran bronkogenik & interstisial serta gambaran kaviti. – Air bronchogram: gambaran lusen pada bronkiolus yang tampak karena alveoli di sekitarnya menjadi opak akibat inflamasi.

Pneumonia komuniti, pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indoneisa. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.

Pneumonia

Faktor Komorbid Pneumonia Faktor modifikasi pada terapi pneumonia: • Pneumokokus resisten terhadap penisilin – – – – –

Bakteri enterik Gram negatif – – – –

Umur lebih dari 65 tahun Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir Pecandu alkohol Penyakit gangguan kekebalan Penyakit penyerta yang multipel Penghuni rumah jompo Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru Mempunyai kelainan penyakit yang multipel Riwayat pengobatan antibiotik

Pseudomonas aeruginosa – – – –

Bronkiektasis Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir Gizi kurang

Management

American Thoracic Society Guidelines for CAP.

Pasien

Keterangan

Rawat Jalan

Pasien yg sebelumnya sehat atau tanpa riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya : • Golongan β laktam atau β laktam ditambah anti β laktamase ATAU • Makrolid baru (Klaritromisin, azitromisin) Pasien dgn komorbid atau mempunyai riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya. • Florokuinolon respirasi (levofloksasin 750 mg, moksifloksasin) ATAU • Golongan β laktam ditambah anti β laktamase ATAU • β laktam ditambah makrolid

Rawat Inap non ICU

Floroquinolon respirasi : levofloksasin 750 mg, moksifloksasin ATAU β laktam ditambah makrolid

Ruang Rawat Intensif

Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas: • β laktam (sefotaksim, seftriakson atau ampisilin sulbaktam) ditambah makrolid baru atau floroquinolon respirasi IV

Pertimbangan Khusus

Bila ada faktor risiko pseudomonas: • Antipneumokokal, antipseudomonas β laktam (piperacilin-tazobaktam, sefepime, imipenem atau meropenem) ditambah levofloksasin 750 mg ATAU • β laktam seperti disebut diatas ditambah aminoglikosida dan azitromisin ATAU • β laktam seperti disebut diatas ditambah aminoglikosida dan antipneumokokal fluorokuinolon (untuk pasien yang alergi penisilin, β laktam diganti dengan aztreonam) Bila curiga disertai infeksi MRSA • Tambahkan vankomisin atau linezolid

14. Gastropati NSAID • Patogenesis gastropati NSAID – inhibisi enzim COX-1 dan prostaglandin yang merupakan gastroprotektif  menghambat produksi mukus pada gaster – permeabilisasi membran  disrupsi pertahanan epitelial – produksi mediator proinflamatorik

• Gejala dapat berupa dispepsia atau dapat bermanifestasi sebagai ulkus peptikum

14. Gastropati NSAID

14. Gastropati NSAID • Tatalaksana gastropati NSAID – Ko-terapi dengan terapi supresi asam • PPI (paling efektif) • antagonis reseptor histamin-2 dosis tinggi (misal famotidine 2 x 40 mg) • prostaglandin E1 analog (misoprostol 800mcg/hari)

– Substitusi dengan inhibitor COX-2 • Celecoxib, rofecoxib, lumiracoxib, etoricoxib

15. Gastropati NSAID

• Obat antinyeri dapat menyebabkan efek samping pada gastrointestinal. • Sehingga pada pasien dengan risiko tinggi efek samping GI lebih dipilih pemberian COX-2 inhibitor atau COX-2 inhibitor ditambah PPI. • Namun COX-2 inhibitor memiliki risiko tinggi terhadap kejadian kardiovaskular

15. Gastropati NSAID

Meloxicam memiliki selektivitas COX-2 yang cukup tinggi

16. PENYAKIT ENDOKRIN Thyroid crisis/storm • Untreated hyperthyroidism may decompensate into a state called thyroid storm. • The condition is usually precipitated by an intercurrent illness or by a surgical emergency. • Clinical picture: – acute onset of hyperpyrexia (with temperature > 40 °C), – sweating, – marked tachycardia often with atrial fibrillation, – nausea, vomiting, – diarrhea, – agitation, – tremor, & – delirium

PENYAKIT ENDOKRIN

Gambaran klinis • Hiperpireksi (suhu > 40 °C), • berketingat, • Takikardia berat, sering dengan AF, • Mual, muntah, diare, • agitasi, tremor, & delirium

Burch & Wartofsky’s scoring system: • 45 or more is highly suggestive • 25-44 is suggestive of “impending” storm

Thyrotoxicosis and Thyroid Storm. Endocrinol Metab Clin N Am 35 (2006) 663–686

Burch Wartofsky Skor untuk Krisis Thyroid

Tatalaksana Krisis Tiroid •

Antipiretik (asetaminofen)

Memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit: infus D 5 % & NaCl 0,9 %,

Mengatasi gagal jantung: O2, diuretik, digitalis

Blokade produksi hormon tiroid: – Propiltiourasil (PTU) loading dose 600-1000mg dilanjutkan dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO. – Alternatif: Metimazol 20-30 mg tiap 4 jam PO. Pada keadaan sangat berat: dapat per NGT, PTU 600 – 1.000 mg atau metimazol 60-100 mg.

Blokade ekskresi hormon tiroid: – Solutio Lugol 8 tetes tiap 6 jam

β-blocker: – Propanolol 60 mg tiap 6 jam PO, dosis disesuaikan respons (target: frekuensi jantung < 90 x/m).

Glukokortikoid: Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12 jam.

Bila refrakter terhadap Tata Laksana di atas: plasmaferesis, dialisis peritoneal.

Pengobatan terhadap faktor pencetus: antibiotik, dll.

Tata Laksana Krisis Tiroid (2)

Satoh T, Isozaki O, Suzuki A, Wakino S, Iburi T, Tsuboi K. Guidelines for the management of thyroid storm form The Japan Thyroid Association and Japan Endocrine Society. Endocrine Journal 2012, 64 (12), 10251064

Tata Laksana Krisis Tiroid (3)

Satoh T, Isozaki O, Suzuki A, Wakino S, Iburi T, Tsuboi K. Guidelines for the management of thyroid storm form The Japan Thyroid Association and Japan Endocrine Society. Endocrine Journal 2012, 64 (12), 10251064

17. Gagal Jantung

17. Gagal Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. LWW; 2011.

17. Gagal Jantung

• Contoh aktivitas fisik biasa: berjalan cepat, naik tangga 2 lantai • Contoh aktivitas fisik ringan: berjalan 20-100 m, naik tangga 1 lantai Pathobiology of Human Disease: A Dynamic Encyclopedia of Disease Mechanisms

17. Gagal Jantung

Garis Merah • BNP diperiksa jika diagnosis ke arah gagal jantung belum tegak • BNP digunakan untuk mengurangi false positif

• Garis biru

• Pasien yang secara klinis jelas gagal jantung dapat langsung diperiksa ekokardiografi

18. Imunisasi Hepatitis B

A Comprehensive Immunization Strategy to Eliminate Transmission of Hepatitis B Virus Infection in the United States Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) Part II: Immunization of Adults

18. Imunisasi Hepatitis B

A Comprehensive Immunization Strategy to Eliminate Transmission of Hepatitis B Virus Infection in the United States Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) Part II: Immunization of Adults

19. Tata Laksana CHF

Sources: Heart Failure. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.

• MR antagonist  mineralocorticoid antagonist or aldosteron antagonist (eg. Spironolactone) • CRT-D  cardiac resynchronization therapydefibrillator • CRT-P  cardiac resynchronization therapypacemaker • ICD  implantable cardioverter defibrillator • LVAD  left ventricular assisting device • Ivabradine  selective heart rate-lowering agent in If current (sodium and potassium current) in pacemaker cells

20. Asbestosis •

Asbestosis adalah pneumokonisos (penyakit interstisial akibat debu organik) yang disebabkan oleh inhalasi serat asbes.

Manifestasi klinis: – Sesak napas, mudah lelah, kadang disertai batuk produktif & mengi – Bila berlanjut, ronki inspirasi bilateral, finger clubbing, & kor pulmonal.

Pemeriksaan: – Tes fungsi paru: penurunan volume paru, defek restriktif. – Roentgen toraks biasanya menunjukkan perubahan interstisial bilateral di bagian bawah, sering dengan plak atau penebalan di pleura.

Tatalaksana: sesuai derajat PPOK dan kor pulmonal, hindari rokok, vaksin influenza & pneumokokal, & menghindari pajanan asbes.

http://patient.info/doctor/asbestos-related-diseases-pro

20. Asbestosis • Asbestosis menyebabkan fibrosis intersisial akibat inhalasi asbestos • Pajanan asbestos predominan pada laki-laki terutama yang bekerja pada konstruksi, tambang, perkapalan, atau industri otomotif. • Gejala dapat berupa sesak nafas, ronki kering pada inspirasi, clubbing finger. • Selalu terdapat adanya bukti fibrosis pada paru bawah, dan lebih dari 50% terdapat penebalan pleura • Pada HRCT: – – – – –

Subpleural curvilinear opacities ground-glass opacity subpleural poorly defined centrilobular nodules thickening of interlobular septa, parenchymal bands traction bronchiectasis, dan honeycombing.

20. Diagnosis Banding • Silikosis – Lung silicosis, pneumonitis, fibrosis of lung, Chronic cough, may be asymptomatic – konsolidasi bilateral dengan opasitas ground glass, terutama pada regio perihiler – dapat ditemukan eggshell calcification

• Asbestosis – opasitas ireguler dengan pola retikuler – dapat ditemukan plak pleura terkalsifikasi atau tidak terkalsifikasi – dapat ditemukan opasitas ground glass

• Farmers lung – normal diantara serangan akut; abnormal saat akut atau subakut – dapat ditemukan konsolidasi air-space difus.

Occupational Lung Disease Disease

Exposure

Clinical Findings

Silicosis

Silica in mining, quarrying, and tunneling; stonecutting, polishing, and cleaning monumental masonry; sandblasting and glass manufacturing, foundry work, pottery and porcelain manufacturing, brick lining, boiler scaling, and vitreous enameling, Coal miners

Lung silicosis, pneumonitis, fibrosis of lung, Chronic cough, may be asymptomatic Diffuse airspace or ground-glass disease in a perihilar distribution with air bronchograms. Egg-shell calcifications in hilar and mediastinal lymph nodes

Byssinosis

Textile workers exposed to the dust of cotton, flax, hemp, and jute

Acute dyspnea, cough, wheezing Xray:diffuse, ill-defined haziness, predominantly in the lower lung zones

Bagassosis

Hypersensitivity Pneumonitis caused due to inhalation of sugarcane fiber waste

Shortness of breath, coughing blood, low grade fever. Xray: mottling of lungs or may show a shadow.

Farmers lung

breathing in dust containing the spores of special, heat-tolerating bacteria or moulds often found on moldy crops. Spores from two types of bacteria, "Micropolyspora faeni" and "Thermoactinomyces vulgaris", and certain types of moulds called "Aspergillus"

Diffuse air-space consolidation is typical of acute farmer's lung (with acute antigen exposure). Nodular or reticulonodular pattern is characteristic of the subacute phase

21. Ketoasidosis Diabetik • Pencetus KAD: • Insulin tidak adekuat • Infeksi • Infark

• Diagnosis KAD: • Kadar glukosa 250 mg/dL • pH 5,5 mmol/L • Penurunan eksresi kalium pada pasien CKD • Tanda dan gejala: iritabilitas otot dan saraf, takikardia, diare, perubahan EKG, aritmia jantung, paralisis

29. Penyakit ginjal kronik (CKD)

29. Penyakit ginjal kronik (CKD)

PENYAKIT GINJAL

Terapi Pengganti Ginjal Indikasi memulai terapi pengganti ginjal pada GGA: • Oligouria: urine output155 mmol/L atau 2/3 LDH serum • Protein pleura/Protein serum >0,5

-

+

31. Efusi Pleura

31. Efusi Pleura

31. Efusi Pleura

• Garis Ellis-Damoiseau  garis lengkung konveks dengan puncak pada garis aksilaris media • Segitiga Garland  daerah timpani yang dibatasi vertebrae torakalis, garis Ellis-Damoiseau dan garis horizontal yang melalui puncak cairan • Segitiga Grocco  daerah redup kontralateral yang dibatasi garis vertebrae, perpanjangan garis Ellis-Damoiseau ke kontralateral dan batas paru belakang

32. Diabetes Mellitus • Kriteria diagnosis DM:

1.

Glukosa darah puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau

2.

Glukosa darah-2 jam ≥200 mg/dL pada Tes Toleransi Glukosa Oral dengan beban glukosa 75 gram, atau

3.

Pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL dengan keluhan klasik (poliuria, polidipsia, polifa*gia, unexplained weight loss), atau

4.

Pemeriksaan HbA1C ≥6,5% dengan metode HPLC yang terstandarisasi NGSP

Catatan: • Kecuali terdapat diagnosis klinis yang jelas (contoh: pasien dengan krisis hiperglikemik atau dengan gejala klasik hiperglikemia dan GDS >200 mg/dL, tes kedua diperlukan untuk konfirmasi. Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015. American Diabetes Association 2016

Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 PERKENI 2011

Diabetes Mellitus • Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM digolongkan ke dalam prediabetes (TGT & GDPT): – Glukosa darah puasa terganggu (GDPT): • GDP 100-125 mg/dL, dan • TTGO-2 jam 25: – hypothyroidism. • A score < - 30: – Exclude hypothyrodism

34. Tuberkulosis Tipe Pasien

Definisi

Baru

Belum pernah/sudah pernah OAT 1 bulan, tidak mengambil obat ≥2 bulan

Gagal

Telah berobat tapi BTA tetap + pada akhir bulan ke-5

Kronik

BTA + dengan OAT kategori 2

Bekas TB

BTA -, Ro: tidak aktif

Paduan Obat

Tipe Pasien

Kategori 1: 2RHZE/4(RH)3

Pasien baru, TB paru BTA (-), TB ekstra paru.

Kategori 2 2RHZES/RHZE/5(RHE)3

Kambuh, gagal, default/drop out

Kategori anak 2RHZ/4RH

Anak dengan skor TB ≥6

Profilaksis anak 6INH 5-10 mg/kgBB

Anak dengan kontak penderita TB BTA (+)

35. Pneumonia • Pulmonary infiltrate, with/without signs of infection (e.g., fever)  one of the most common & serious complications in patients whose immune defenses are suppressed by: – Disease, – Immunosuppresive therapy for organ transplants, – Chemotherapy for tumors, or – Irradiation.

Pneumonia • CMV infection: – Prominent intranuclear basophilic inclusion spanning half the nuclear diameter are usually set off from the nuclear membrane by a clear halo. – In the lungs, the alveolar macrophages, epithelial and endothelial cells are affected; – Affected cells are strikingly enlarged, often to a diameter of 40 µm, and the show cellular & nuclear pleomorphism.

Pneumonia • Pneumocstis jirovecii/carini: – Dyspnea, fever, nonproductive cough. – Tachypnea, tachycardia, and cyanosis, but lung auscultation reveals few abnormalties. – CXR: bilateral diffuse infiltrates beginning in the perihilar regions. – Definitive diagnosis is made by histopatholoic staining methenamine silver selectively stain the wall of Pneumocystis cysts.

Pneumonia •

Mycoplama pneumonia is a disease of gradual and insidious onset of several days to weeks.

A recent Cochrane review determined that M. pneumonia cannot be reliably diagnose in children and adolescents with commnity-acquired pneumonia based on clinical signs and symptoms.

The patient’s history may include the followintg: – Fever, generally low-grade – Malaise – Persistent,slowly worsening, incessant cough. The cough ranges from non-productive to mildly productive with sputum discoloration developing late in the course of the illness. The absence of cough makes the diagnosis of M. pneumoniae unlikely. – Headache – Chills but nor rigor – Scratichy sore throat – Sore chest and tracheal tenderness (result of the protracted cough) – Pleuritic chest pain (rare) – Wheexing – Dyspneua (ucommon)

36. Toksisitas Statin

Toksisitas Statin • Peningkatan ringan creatin kinase (CK) di plasma dijumpai pada sebagian pasien yang mendapat statin, terutama terkait dengan aktivitas fisik berat.

• Faktor risiko miopati akibat statin: – – – – –

Usia > 70 tahun Perempuan Dosis terapi > 1,5 kali dosis maksimum Gangguan fungsi hati/ginjal (klirens kreatinin 5 : Operative

C. Integrity of Post Lig.Complex PLC disrupted in tension, rotation, or translation

Intact

Points

Suspected / Indeterminate

0 2

Injured

3

Compression Fracture • Failure of anterior column • Stable: – TLSO, hyperextension bracing • Unstable (>50% height, >30% kyphosis, multi level) – Posterior instrumented fusion vs non OR – Progressive deformity

Thoracolumbar Fracture • MANAGEMENT – ConservativeFracture must be stable • Postural Reduction & Body Spica • BracingTLSO(Thoracic lumbar sacral orthosis)

– Operative

60. Varikokel • Varikokel adalah dilatasi abnormal dari vena pada pleksus pampiniformis akibat gangguan aliran darah balik vena spermatika interna. • Varikokel merupakan salah satu penyebab infertilitas pada pria; dan didapatkan 21-41% pria yang mandul menderita varikokel.

GEJALA KLINIS • Pasien biasanya mengeluh belum mempunyai anak setelah beberapa tahun menikah, atau kadang-kadang mengeluh adanya benjolan di atas testis yang terasa nyeri. • Varikokel jarang menimbulkan rasa tidak nyaman. • Keluhan yang biasa dimunculkan antara lain adanya rasa sakit yang tumpul atau rasa berat pada sisi dimana varikokel terdapat.

PEMERIKSAAN FISIK • Pemeriksaan dilakukan dgn pasien dalam posisi berdiri, perhatikan keadaan skrotum kemudian dilakukan palpasi  bentukan seperti kumpulan cacing-cacing di dalam kantung (bag of worms) yang berada di sebelah kranial testis, adanya distensi kebiruan dari dilatasi vena. • Jika varikokel tidak terlihat secara visual, struktur vena harus dipalpasi dengan manuver valsava.

Secara klinis varikokel dibedakan dalam 3 tingkatan/derajat: 1. Derajat I kecil: varikokel dapat dipalpasi setelah pasien melakukan manuver valsava 2. Derajat II sedang: varikokel dapat dipalpasi tanpa melakukan manuver valsava 3. Derajat III besar: varikokel sudah dapat dilihat bentuknya tanpa melakukan manuver valsava. (manuver valsava = mengedan)

• Pemeriksaan auskultasi – Stetoskop Doppler  mendeteksi adanya peningkatan aliran darah pada pleksus pampiniformis.

• Alat orkidometer – Untuk lebih objektif dalam menentukan besar atau volume testis

• Pemeriksaan analisis sem*n – Untuk menilai seberapa jauh varikokel telah menyebabkan kerusakan pada tubuli seminiferi.

– Hasil analisis sem*n pada varikokel menunjukkan pola stress: • menurunnya motilitas sperma • meningkatnya jumlah sperma muda (immature,) • terdapat kelainan bentuk sperma (tapered).

PEMERIKSAAN PENUNJANG • Angiografi/Venografi • Ultrasonografi (USG)

PENATALAKSANAAN Indikasi Operasi : • Varikokel secara klinis pada pasien dengan parameter sem*n yang abnormal terkait dengan atrofi testikular ipsilateral atau dengan nyeri ipsilateral testis yang makin memburuk setiap hari, harus segera dioperasi dengan tujuan membalikkan proses yang progresif dan penurunan durasi-dependen fungsi testis. • Remaja dengan varikokel grade I – II tanpa atrofi dilakukan pemeriksaan tahunan untuk melihat pertumbuhan testis, jika didapatkan testis yang menghilang pada sisi varikokel, maka disarankan untuk dilakukan varikokelektomi.

TINDAKAN OPERASI Ligasi dari vena spermatika interna dapat dilakukan dengan berbagai teknik. 1. 2. 3. 4. 5.

Teknik Retroperitoneal (palomo) Teknik Inguinal (ivanissevich) Teknik Laparoskopik Microsurgical varicocelectomy (Marmar-Goldstein ) Teknik Embolisasi

PROGNOSIS • 6 bulan setelah operasi didapatkan perbaikan signifikan volume testis kiri dan konsentrasi spermatozoa. • Kehamilan terjadi pada 3 bulan pasca operasi berkisar 25% dan meningkat menjadi 50% pada 6 bulan pasca operasi.

61. Ca Prostat • Tumor pada umumnya tumbuh dengan lambat dan sisanya terkurung pada kelenjar selama bertahun-tahun • tumor menghasilkan sedikit atau tidak ada gejala-gejala yang terlihat dari luar (kelainan-kelainan di pengujian fisik).

• Kanker dapat menyebar di luar prostat ke sekitar jaringan. • metastasize ke seluruh area-area lain badan, seperti tulangtulang, paru-paru, dan hati.

• Kanker ini paling umum pada pria, terutama mereka yang berusia di atas 65 tahun.

Faktor Risiko  Genetic, yaitu BRCA1 dan BRCA2  Usia  faktor risiko terbesar kanker prostat  Jarang terjadi pada pria di bawah 40 tahun, namun risiko kanker prostat akan meningkat setelah usia 50 tahun  Dua dari tiga kasus kanker prostat ditemukan pada pria usia 65 tahun.

 Ras/etnis  Orang berkulit hitam memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan orang berkulit putihAmerika Serikat

 Diet  Diet tinggi lemak dan obesitas (kegemukan) meningkatkan risiko  Teorinya, lemak akan meningkatkan produksi hormon testosteron yang akan membantu perkembangan sel kanker prostat.

 Suku bangsa  Pria Asia memiliki risiko lebih rendah dibandingkan Amerika.

Lanjutan . . . • Virus • 27% pada jaringan kanker prostat ganas ditemukan Xenotropic Murine Related Virus (XMRV) penyebab kanker pada hewan.

• Gaya hidup • Merokok dan minum alkohol ditengarai menjadi pemicu munculnya kanker prostat • Sering berganti-ganti pasangan juga membuka kesempatan terjadinya infeksi virus penyebab kanker yang ditularkan melalui hubungan kelamin.

• Lingkungan • kadmium (bahan pembuat batere) • juga bahan-bahan kimia lain berisiko tinggi mengidap kanker prostat.

Gejala Kanker Prostat :

Prostatic malignancy

Anatomi Prostat

Image Source: SEER Training Website

Lobes of the Prostate • • • •

Anterior lobe Median lobe Lateral lobe Posterior lobe

Image Source: SEER Training Website

Zones of the Prostate • Peripheral, 60 – 70% keganasan berasal dari zona perifer • Central, 5 – 10% keganasan berasal dari zona sentral. • Transitional, 10 – 20% keganasan berasal dari zona transitional.

Image Source: SEER Training Website

DIAGNOSA

• Pria berusia > 50 tahun dianjurkan setiap setahun – Pemeriksaan PSA total sekali – Pemeriksaan Digital Rectal Examination – Bila ada keluarga yang menderita kanker prostat, skrining dianjurkan sejak usia 40 tahun • Digital rectal examination: • konsistensi yang keras • adanya nodul (benjolan di permukaan) • pembesaran prostat yang tidak simetris.

• Tes darah. antigen khusus prostat (PSA). – tidak konklusif – Pada tahap pengobatan, penurunan kadar PSA menandakan efektivitas terapi yang dijalankan.

http://www.cancer.gov/cancertopics/factsheet/detection/PSA

PSA Test • Tes yang mengukur kadar prostate specific antigen (PSA) dalam darah • PSA protein yang dihasilkan oleh prostat • Laki-laki secara normal memiliki kadar PSA rendah, dan kadarnya akan meningkat seiring dengan usia

PSA—Prostate Cancer • PSA >4.0 ng/mL mandatory biopsy • 50% of all the cancers detected because of an elevated PSA level are localized • these patients are candidates for potentially curative therapy

Biopsi Prostat • Skrinning PSA untuk Ca Prostat, tidak dapat meningkatkan survival rate USG Prostat • Hanya dapat melihat pembesaran prostat • Tidak menunjukkan derajat obstruksinya

Diagnosa • Tes PCA3. • PCA3 yang lebih tinggi di urin menunjukkan kehadiran kanker prostat. • lebih akurat dibandingkan tes darah (PSA) • Interpretasi • Kadar PSA 0,5-4,0ng/ml: normal • Kadar PSA 4,0-10ng/ml: kemungkinan Ca 20%, lakukan TRUS, jika PSAd (kadar PSA/ volume prostat) >0,15 lakukan biopsi. • Kadar PSA >10ng/ml: keumungkinan Ca 50%, perlu dilakukan TRUS dan biopsi.

• Biopsi. • Beberapa sampel diambil pada bagian-bagian yang berbeda dari prostat. • Hanya dilakukan bila PSA >3

• CT scan, MRI scan dan pemeriksaan penunjang lain • Untuk mengetahui tingkat penyebaran kanker.

• Sitologi air kemih atau cairan prostat.

Tatalaksana • Pembedahan: • prostatektomi radikal (T1-2 N0 M0), Orkiektomi

• Terapi penyinaran • Terapi penyinaran eksterna; pencangkokan butiran yodium, emas, atau iridium radioaktif pada jaringan prostat melalui sayatan kecil

• Vaksinasi • Prostvac-VF immunotherapy dibuat dari poxvirus yang dilemahkan dan direkayasa untuk menghasilkan PSA dalam merangsang sistem kekebalan

Farmakologis • Manipulasi hormonal. – Tujuannya adalah mengurangi kadar testosteron. Penurunan kadar testosteron seringkali sangat efektif dalam mencegah pertumbuhan dan penyebaran kanker. – Sintetis LHRH (luteinizing hormone releasing hormone), digunakan untuk mengobati kanker prostat stadium lanjut. Contohnya adalah lupron atau zoladeks. – Zat penghambat androgen (misalnya flutamid), yang berfungsi mencegah menempelnya testosteron pada sel-sel prostat.

Lanjutan. . . • Kemoterapi • Digunakan untuk mengatasi gejala kanker prostat yang kebal terhadap pengobatan hormonal. • Diberikan sebagai obat tunggal atau kombinasi beberapa obat • Obat-obatan yang bisa digunakan untuk mengobati kanker prostat adalah: - Mitoxantronx - Prednisone - Pacl*taxel - Dosetaxel - Estramustin - Adriamycin.

62. Nefrolithiasis

63. Luka Bakar

64. Triage Triage Priorities 1. Red- prioritas utama – memerlukan penanganan segeraberkaitan dengan kondisi sirkulasi atau respirasi

2. Yellow- prioritas kedua – Dapat menunggu lebih lama, sebelum transport (45 minutes)

3. Green- Dapat berjalan – Dapat menunggu beberapa jam untuk transport

4. Black- Meninggal – Akan meninggal dalam penanganan emergensi memiliki luka yang mematikan

*** mark triage priorities (tape, tag)

Triage Category: Red • Red (Highest) Priority: Pasien yang memerlukan penanganan segera dan transport secepatcepatnya

• Gangguan Airway dan breathing • Perdarahan banyak dan tidak terkontrol • Decreased level of consciousness • Severe medical problems • Shock (hypoperfusion) • Severe burns

Yellow • Yellow (Second) Priority: Pasien yang penanganan dan traportnya dapat ditunda sem*ntara waktu • Luka bakar tanpa gangguan airway • Trauma tulang atau sendi besar atau trauma multiple tulang • Trauma tulang belakang dengan atau tanpa kerusakan medula spinalis

Green • Green (Low) Priority: Pasien yang penanganan dan transportnya dapat ditunda sampai yang terakhir • Fraktur Minor • Trauma jaringan lunak Minor

Immediate

Patients

Delayed

Deceased

START

Simple Triage And Rapid Treatment

• It is a simple step-by-step• triage and treatment method to be used by the first rescuers responding • to a multi casualty incident. It allows these rescuers to identify victims at greatest risk for early • death and to provide basic stabilization maneuvers

If you can walk, go stand over there! All of Ya’ll, go over there! (Texas version ) Mark green

START Algorithm (Airway/Breathing) RESPIRATIONS/VENTILATIONS

NONE

YES

REPOSITION AIRWAY ASSESS RESPIRATIONS/VENTILATIONS

NONE

DECEASED Immediate

Patients

Delayed

Deceased

YES

> 30/MINUTE

IMMEDIATE

IMMEDIATE

2.50 D; hyperopia > than 5.00 D; myopia > 8.00D) – Anisometropic amblyopia is caused by unequal, uncorrected refractive error (e.g., astigmatism > 1.50 D; hyperopia > 1.00 D; myopia > than 3.00 D)

3. Strabismic Amblyopia – Caused by early onset of constant unilateral strabismus AOA. Care of Patient with Ambliopia.

Clinical Manifestation and Complication • Signs and symptoms may include, but are not limited to: – – – – – – –

Reduced vision in one or both eyes Decrease in stereopsis Constant unilateral strabismus Suppression Eccentric fixation Visual perceptual skills deficit Early learning problems

• Complications of untreated amblyopia may include, but are not limited to: – – – –

Progressive reduction of visual acuity Poor vision development Increased risk for loss of vision in better eye Later onset of strabismus AOA. Care of Patient with Ambliopia.

Management • Treatment of amblyopia is directed toward four goals: – Improving vision in the amblyopic eye – Decreasing the risk of blindness in the fellow eye – Facilitating fusion and maintaining eye alignment – Developing normal binocular vision

AOA. Care of Patient with Ambliopia.

Treatment Options • Optical correction (spectacles and/or contact lenses). – Full correction of the ametropia, especially isoametropic and anisometropic (< 2D) patients who are binocular.

• Occlusion (part-time or full-time) – Enables the amblyopic eye to enhance neural input to the visual cortex and is also important in eliminating eccentric fixation.

• Active vision therapy (office and/or home) – Designed to improve visual performance by the patient’s conscious involvement in a sequence of specific, controlled visual tasks or procedures that provide feedback about the patient’s performance. – Vision therapy may be used to remediate deficiencies in eye movements and fixation, spatial perception, accommodative efficiency, and binocular function AOA. Care of Patient with Ambliopia.

68. Antimetropia No.

Terms

Definition

1

Antimetropia

a sub‐classification of anisometropia, is a rare refractive condition in which one eye is myopic and the fellow eye is hyperopic

2

Anisometropia

unequal, uncorrected refractive error (e.g., astigmatism > 1.50 D; hyperopia > 1.00 D; myopia > than 3.00 D

3

Anisekonia (unequal images)

It is a binocular condition, so the image in one eye is perceived as different in size compared to the image in the other eye.

4

Myopia

Near-sightedness, also known as short-sightedness and myopia, is a condition of the eye where light focuses in front of, instead of on, the retina.

5

Amblyopia

The medical term used when the vision in one of the eyes is reduced because the eye and the brain are not working together properly. The eye itself looks normal, but it is not being used normally because the brain is favoring the other eye. This condition is also sometimes called lazy eye

75. Glaukoma Akut

http://emedicine.medscape.com/article/798811

Angle-closure (acute) glaucoma • The exit of the aqueous humor fluid is sud • At least 2 symptoms: – ocular pain – nausea/vomiting – history of intermittent blurring of vision with halos

• AND at least 3 signs: – – – – –

IOP greater than 21 mm Hg conjunctival injection corneal epithelial edema mid-dilated nonreactive pupil shallower chamber in the presence of occlusiondenly blocked

Tatalaksana Glaukoma Akut •

Tujuan : merendahkan tekanan bola mata secepatnya kemudian bila tekanan normal dan mata tenang → operasi Supresi produksi aqueous humor – Beta bloker topikal: Timolol maleate 0.25% dan 0.5%, betaxolol 0.25% dan 0.5%, levobunolol 0.25% dan 0.5%, metipranolol 0.3%, dan carteolol 1% dua kali sehari dan timolol maleate 0.1%, 0.25%, dan 0.5% gel satu kali sehari (bekerja dalam 20 menit, reduksi maksimum TIO 1-2 jam stlh diteteskan) – Pemberian timolol topikal tidak cukup efektif dalam menurunkan TIO glaukoma akut sudut tertutup. – Apraclonidine: 0.5% tiga kali sehari – Brimonidine: 0.2% dua kali sehari – Inhibitor karbonat anhidrase: • Topikal: Dorzolamide hydrochloride 2% dan brinzolamide 1% (2-3 x/hari) • Sistemik: Acetazolamide 500 mg iv dan 4x125-250 mg oral (pada glaukoma akut sudut tertutup harus segera diberikan, efek mulai bekerja 1 jam, puncak pada 4 jam) Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006

Tatalaksana Glaukoma Akut •

Fasilitasi aliran keluar aqueous humor – Analog prostaglandin: bimatoprost 0.003%, latanoprost 0.005%, dan travoprost 0.004% (1x/hari), dan unoprostone 0.15% 2x/hari – Agen parasimpatomimetik: Pilocarpine – Epinefrin 0,25-2% 1-2x/hari Pilokarpin 2% setiap menit selama 5 menit,lalu 1 jam selama 24 jam – Biasanya diberikan satu setengah jam pasca tatalaksana awal – Karena pada fase awal masih mengalami spasme silier sehingga pilokarpin sebagai agen konstriktor pupil menjadi tdk efektif – Mata yang tidak dalam serangan juga diberikan miotik untuk mencegah serangan Pengurangan volume vitreus – Agen hiperosmotik: Dapat juga diberikan Manitol 1.5-2MK/kgBB dalam larutan 20% atau urea IV; Gliserol 1g/kgBB badan dalam larutan 50% – isosorbide oral, urea iv Extraocular symptoms: – analgesics – antiemetics – Placing the patient in the supine position → lens falls away from the iris decreasing pupillary block Pemakaian simpatomimetik yang melebarkan pupil berbahaya Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.

76. Blefaritis Definisi

Gejala

Tatalaksana

Blefaritis superfisial

Infeksi kelopak superfisial yang diakibatkan Staphylococcus

Terdapat krusta dan bila menahun disertai dengan meibomianitis

Salep antibiotik (sulfasetamid dan sulfisoksazol), pengeluaran pus

Hordeolum

Peradangan supuratif kelenjar kelopak mata

Kelopak bengkak, sakit, rasa mengganjal, merah, nyeri bila ditekan

Kompres hangat, drainase nanah, antibiotik topikal

Blefaritis skuamosa/seboroik

Blefaritis diseratai skuama atau krusta pada pangkal bulu mata yang bila dikupas tidak terjadi luka pada kulit, berjalan bersamaan dengan dermatitis sebore

Etiologi: kelainan metabolik atau jamur. Gejala: panas, gatal, sisik halus dan penebalan margo palpebra disertai madarosis

Membersihkan tepi kelopak dengan sampo bayi, salep mata, dan topikal steroid

Meibomianitis (blefaritis posterior)

Infeksi pada kelenjar meibom

Tanda peradangan lokal pada kelenjar tersebut

Kompres hangat, penekanan dan pengeluaran pus, antibiotik topikal

Blefaritis Angularis

Infeksi Staphyllococcus pada tepi kelopak di sudut kelopak atau kantus

Gangguan pada fungsi pungtum lakrimal, rekuren, dapat menyumbat duktus lakrimal sehingga mengganggu fungsi lakrimalis

Dengan sulfa, tetrasiklin, sengsulfat

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas

Demodectic blepharitis • Two distinct Demodex species have been confirmed as a cause of blepharitis: – Demodex folliculorum can cause anterior blepharitis associated with disorders of eyelashes, – Demodex brevis can cause posterior blepharitis with meibomian gland dysfunction and keratoconjunctivitis.

• Direct contact is required for transmission of mites • Demodectic blepharitis = blepharitis acarica • Treatment: mercury oxide 1% ointment, pilocarpine gel, sulfur ointment, and camphorated oil, tea-tree oil

Photographs demonstrating the typical cylindrical dundraff at the root of the eyelashes (a, red arrow); misdirected lashes (b, blue arrow); meibomian gland dysfunction (c, green arrow); lid margin inflammation (d, black arrow); bulbar conjunctiva inflammation (e); corneal infiltration and pannus (f, yellow arrow).

Risk Factor • A close correlation between the severity of rosacea and Demodex blepharitis – Rosacea predisposes patients to blepharitis mainly by creating an environment on the skin that congests all the oil-producing glands necessary for a healthy dermis and epidermis.

• Other factors may change the environment to encourage mites’ proliferation, such as the skin phototype, sunlight exposure, alcohol intake, smoking, stress, hot beverages, spicy food, and abrupt changes in temperature • compromised local or systemic immune status (steroids or diseases such as leukemia and HIV)

Sign and Symptoms • The main symptoms are itching, burning, foreign body sensation, crusting and redness of the lid margin, and blurry vision. • Signs include cylindrical dandruff, disorders of eyelashes, lid margin inflammation, meibomian gland dysfunction, blepharoconjunctivitis, and blepharokeratitis. • Persistent infestation of the lash follicles may lead to malalignment, trichiasis or madarosis

The potential criteria for diagnosis of Demodex blepharitis are summarized below: • Clinical history: – high index of suspicion when blepharitis, conjunctivitis or keratitis in adult patients or blepharoconjunctivitis or recurrent chalazia in young patients are refractory to conventional treatments, or when there is madarosis or recurrent trichiasis.

• Slit-lamp examination: – typical cylindrical dandruff at the root of eyelashes.

• Microscopic confirmation: – detection and counting of Demodex eggs, lavae and adult mites in epilated lashes.

Phthiriasis palpebrarum • Phthiriasis palpebrarum (ciliary phthiriasis), caused by Pthirus pubis, is an uncommon cause of blepharoconjunctivitis • In adults, they are commonly transferred from groin area to eyes by hands or less commonly by infected clothing or bed linen. • In children, eyelashes are the most common site of the infestation

• Symptoms – pruritic lid margin to blepharitis with marked conjunctival inflammation

• Diagnosis can be made by close examination of lashes and lid margins with slit lamp in order to identify the lice and nits

Treatment • • • • •

Mechanical removal with forceps Trimming or plucking of eye lashes Cryotherapy Argon laser photocoagulation Medicine: fluorescein eye drops, physostigmine 0.25%, lindane 1%, petroleum, yellow mercuric oxide ointment 1%, malathion drops 1% or malathion shampoo 1%, 1% gamma-benzene hexachloride cream, pyrethrin ointment, permethrin 1% cream • None of the pediculicides are 100% ovicidal; manual removal of nits after treatment with any product is recommended. • Family members, sexual contacts, and close companions should be examined and treated appropriately; clothing, towels, and bedding used by the patient within two to three days before treatment began should be machine washed

77. TAJAM PENGLIHATAN • Bila tajam penglihatan 6/6: dapat melihat huruf pada jarak 6 meter, yang oleh orang normal dapat dilihat pada jarak 6 mtr • Bila tidak dapat melihat huruf terbesar pada kartu Snellen : dilakukan uji hitung jari pemeriksa dengan dasar putih. Jari dapat terlihat oleh orang normal pada jarak 60 mtr • Bila pasien tidak dapat menghitung jari pada jarak 1 mtr → uji lambaian tangan. Orang normal dapat melihat lambaian tangan pada jarak 300mtr. Bila mata hanya dapat melihat pada jarak 1mtr : visus 1/300 • Bila hanya mengenal adanya sinar : 1/~ • Bila tidak mengenal adanya sinar: visus 0 atau buta total Ilmu Penyakit Mata,Sidarta Ilyas

78. Perdarahan subkonjungtiva • Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rupturnya pembuluh darah dibawah lapisan konjungtiva yaitu pembuluh darah konjungtivalis atau episklera. • Dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma.

• Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa diobati. • Pengobatan penyakit yang mendasari bila ada.

Subconjunctival hemorrhage • Subconjunctival hemorrhage (or subconjunctival haemorrhage) also known as hyposphagma, is bleeding underneath the conjunctiva. • A subconjunctival hemorrhage initially appears bright-red underneath the transparent conjunctiva. • Later, the hemorrhage may spread and become green or yellow, like a bruise. • In general a subconjunctival hemorrhage is a painless and harmless condition • however, it may be associated with high blood pressure, trauma to the eye, or a base of skull fracture if there is no posterior border of the hemorrhage visible.

Subconjunctival hemorrhage Causes • Eye trauma • Whooping cough or other extreme sneezing or coughing • Severe hypertension • Postoperative subconjunctival bleeding • Acute hemorrhagic conjunctivitis (picornavirus) • Leptospirosis • Increased venous pressure (straining, vomiting, choking, or coughing)

Management • Self-limiting that requires no treatment in the absence of infection or significant trauma. • Artificial tears may be applied four to six times a day. • Cold compress in the 1st hour may stop the bleeding

79. ARMD (Age Related Macular Degeneration) • Degenerasi progresif makula retina yg dpt memberikan gangguan pd penglihatan sentral • Biasanya tjd pd usia di atas 60 thn • Gejala klinis gradual loss of visual acuity. Where macular edema is present, patients complain of image distortion (metamorphopsia),macropsia, or micropsia

Drussen  deposit lipofiuscin di lapisan pigmen epitel retina yg berwarna kekuningan

Sumber: Ophthalmology. Lang. 2000.

80. Neuritis Optik • Inflamasi demielinisasi nervus optikus • Idiopatik/diasosiasikan dengan multiple sclerosis & neuromyelitis optica • Gejala – Kehilangan penglihatan – Skotoma sentral – Dyschromatopsia (perbedaan persepsi warna)

– Nyeri retro-orbital/okular, biasanya memberat dengan gerakan mata – Fenomea Uhthoff • kehilangan penglihatan dieksaserbasi panas/olahraga

– Fenomena Pulfrich • objek yang bergerak pada garis lurus tampak seperti bergerak dalam garis melengkung

Pérez Bartolomé F, García Vasco L, Abreu Ventura N, Arcos Villegas G, Santos Bueso E, et al. (2015) Diagnosis Approach of Optic Neuritis. J Neurol Neurophysiol 6: 345. doi:10.4172/2155-9562.1000345 http://emedicine.medscape.com/article/1217083-overview

• Neuritis optik – Anterior/papilitis (1/3 kasus) • inflamasi diskus optikus • Pemeriksaan fundus: edema peripapiler

– Posterior/retrobulbar (2/3 kasus) • inflamasi di antara mata dengan khiasma optikum, hanya bisa dilihat dengan pemeriksaan neuroimaging (pemeriksaan fundus normal) • “Neither the patient nor the physician see anything” Pérez Bartolomé F, García Vasco L, Abreu Ventura N, Arcos Villegas G, Santos Bueso E, et al. (2015) Diagnosis Approach of Optic Neuritis. J Neurol Neurophysiol 6: 345. doi:10.4172/2155-9562.1000345

Pérez Bartolomé F, García Vasco L, Abreu Ventura N, Arcos Villegas G, Santos Bueso E, et al. (2015) Diagnosis Approach of Optic Neuritis. J Neurol Neurophysiol 6: 345. doi:10.4172/2155-9562.1000345

• Tatalaksana: – Pemulihan ketajaman visual: prednisoneoral/methylprednisolone IV 8 hari atau tidak diberikan apa-apa – Terapi imunomodulator untuk mencegah MS (pada risiko tinggi MS  dilihat dari MRI) Pérez Bartolomé F, García Vasco L, Abreu Ventura N, Arcos Villegas G, Santos Bueso E, et al. (2015) Diagnosis Approach of Optic Neuritis. J Neurol Neurophysiol 6: 345. doi:10.4172/2155-9562.1000345

Pilihan jawaban lain • Papil edema – Edema diskus optikus karena peningkatan tekanan intrakranial – Gejala ↑TIK: sakit kepala, mual, muntah, diplopia, tinnitus pulsatil

• Hipertensi retinopati – Gejala: asimptomatik/penglihatan kabur, sakit kepala. – Pemeriksaan fundus: edema diskus optikus, arteriolosclerosis, copper wiring & silver wiring, arteriovenous nicking, perdarahan retina, mikroaneurisma, cotton wool spots http://emedicine.medscape.com/article/1217204-overview http://emedicine.medscape.com/article/1201779-overview#a1

Pilihan jawaban lain (2) • Retinopati diabetikum – Gejala: floaters, penglihatan kabur/terdistorsi, kehilangan penglihatan progresif. – Pemeriksaan fundus: mikroaneurisma, perdarahan dot dan blot, perdarahan flame-shaped, edema retina, hard exudates, cotton wool spots, edema macula, +neovaskularisasi

http://emedicine.medscape.com/article/1225122-overview

Diseases Neuritis optik (1)

Definition/characteristics

Ophthalmoscopic findings

Peradangan optic disc ditandai dgn disc swelling, unilateral

Nyeri bola mata dgn gerakan tertentu, afferent pupil reflex (-), hiperemia optic disc

Neuritis retrobulbar Bagian dari neuritis optik, peradangan terjadi jauh dibelakang optic disc, unilateral

Nyeri bola mata dgn gerakan tertentu, afferent pupil reflex (-), funduskopi normal

Neuropati optik iskemik (2)

Iskemia optic disc akibat aterosklerosis, hipertensi, diabetes

Optic disc swelling dan pucat, splinter hemorrhage pd daerah peripapila

Atrofi papil (3)

Etiologi bisa vaskuler, degeneratif, metabolik, glaukomatosa

Penurunan visus perlahan, gangguan penglihatan warna, defek lapang pandang

(1)

(2)

(3)

Papilledema

Papillitis (optic neuritis)

Retrobulbar neuritis

Unilateral/bilateral Vision impairment

Swelling of optic nerve head due to increased ICP Bilateral Enlarged blind spot

Inflammation of orbital portion of optic nerve Unilateral Central/paracentral scotoma to complete blindness

Fundus appearance

Hyperemic disk

Inflammation or infarction of optic nerve head Unilateral Central/paracentral scotoma to complete blindness Hyperemic disk

Vessel appearance

Engorged, tortuous veins

Engorged vessels

Normal

Hemorrhages?

Around disk, not periphery

Normal

Pupillary light reflex

Not affected

Hemorrhages near or on optic head Depressed

Treatment

Normalize ICP

Corticosteroids if cause known

Corticosteroids with caution

Definition

Normal

Depressed

NEUROLOGI

81. Spinal Stenosis • Definisi: • penyakit degeneratif, terjadi akibat penyempitan kanal spinal secara perlahan, mulai dari gangguan akibat penebalan ligamen kuning, sendi faset yang membesar, dan diskus yang menonjol.

• Penyempitan  kompresi saraf  nyeri (nyeri punggung bawah, nyeri pantat, dan rasa sakit di kaki dan mati rasa) biasanya memburuk saat berjalan dan berkurang saat istirahat. • Istilah stenosis tulang belakang bukan merujuk pada ditemukannya penyempitan kanal spinal, namun lebih pada adanya nyeri tungkai yang disebabkan oleh penekanan saraf yang terkait.

• Etiologi – Penyebab paling umum: arthritis degeneratif dan penyakit degeneratif diskus, HNP. – Penyebab lain: tumor, infeksi, gangguan metanolisme tulang, mis: Paget’s disease

• Gejala dan Tanda: – – – – –

Nyeri punggung bawah Kelemahan (kelumpuhan) Mati rasa / baal Nyeri Kesemutan

• Diagnosis – – – –

Ditegakan secara klinis X-ray MRI Pemeriksaan khusus lain: EMG

Penatalaksanaan Apabila tidak terdapat keterlibatan saraf berat atau progresif: • NSAID • Analgesik untuk menghilangkan nyeri. • Blok akar saraf • Fisioterapi • Mempertahankan gerakan tulang belakang, memperkuat otot perut dan punggung, serta membangun stamina • Membantu menstabilkan tulang belakang.

• Korset lumbal • Akupunktur • Menstimulasi lokasi-lokasi tertentu pada kulit melalui berbagai teknik • Memanipulasi jarum tipis dan keras dari bahan metal yang memenetrasi kulit.

Operasi • Dipertimbangkan dilakukan sesegera mungkin apabila ada rasa baal atau kelemahan yang mengganggu proses berjalan, gangguan fungsi usus besar (buang air besar) atau kandung kemih (buang air kecil).

82. Tekanan Intra Kranial • Normal : 4-14 mmHg. • Tekanan intrakranial diatas 20mmHg : kerusakan otak. • Doktrin Monro-Kellie. • Isi kavitas kranial : otak, darah, & cairan cerebrospinal.

Doktrin Monro-Kellie

• • •

TIK tinggi  kerusakan otak. Lesi massa fokal  pergeseran garis tengah dan herniasi otak. 4 macam herniasi otak : 1. herniasi subfalcine 2. herniasi uncal 3. herniasi transtentorial 4. herniasi tonsillar

• Tekanan perfusi otak : pertukaran oksigen dan nutrisi dari pembuluh darah ke jaringan otak. Tekanan Perfusi Otak = Tekanan Arteri Rata-Rata – Tekanan Intrakranial. Tekanan intrakranial > 30 mmHg Tekanan arteri rata-rata < 90 mmHg Tekanan perfusi otak < 50 mmHg ↓ Morbiditas dari penderita.

ypes of brain herniation[3] 1) Uncal 2) Central 3) Cingulate 4) Transcalvarial 5) Upward 6) Tonsillar

PATOFISIOLOGI CEDERA OTAK • Cedera otak primer : iskemia & berbagai perubahan fisiologis & metabolik akibat langsung trauma. • Cedera otak sekunder dapat terjadi sesaat setelah trauma terjadi atau sebagai akibat dari cedera otak primernya tersebut.

Cedera otak primer ↓ Insult sekunder ↓ Cedera otak sekunder. Mencegah terjadinya cedera otak sekunder.

Pengelolaan peningkatan TIK • Tindakan umum

– Elevasi kepala 30°

• Meningkatkan venous return  CBV menurun  TIK turun

– Hiperventilasi ringan

• Menyebabkan PCO2   vasokonstriksi  CBV  TIK 

– Pertahankan tekanan perfusi otak • (CPP) > 70 mmHg • (CPP=MAP-ICP)

– Pertahankan normovolemia

• Tidak perlu dilakukan dehidrasi, karena menyebabkan CPP   hipoperfusi iskemia

– Pertahankan normothermia

• Suhu dipertahankan 36-37°C • Terapi hipothermia (ruangan berAC) • Setiap kenaikan suhu tubuh 1°C meningkatkan kebutuhan cairan ± 10% PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006

– Pencegahan kejang • Diphenil hidantoin loading dose 13-18mg/kgBB diikuti dosis pemeliharaan 68mg/kgBB/hari

– Diuretika • Menurunkan produksi CSS • Tidak efektif dalam jangka lama

– Kortikosteroid • Tidak dianjurkan untuk cedera otak • Bermanfaat untuk anti edema pada peningkatan TIK non trauma, misal tumor/abses otak PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006

– Manitol • Osmotik diuresis, bekerja intravaskuler pada BBB yang utuh • Efek – Dehidrasi (osmotik diuresis) – Rheologis – Antioksidan (free radical scavenger)

• Dosis 0,251g/kgBB/pemberian, diberikan 4-6x/hari • Diberikan atas indikasi: – Ada tanda klinis terjadinya herniasi – Klinis & radiologis TIK meningkat

• Terapi primer peningkatan TIK – Evakuasi/eksisi massa (hematoma) • Kraniotomi – Memperbaiki BBB – Mengurangi penekanan CBF   iskemia

– Drainase CSS • Dengan ventrikulostomi • 100-200 cc/hari

83. Carpal Tunnel Syndrome

84. Subarachnoid Hematom • Perdarahan fokal di daerah subarahnoid. CT scan terdpt lesi hiperdens yg mengikuti arah girus-girus serebri daerah yg berdktan dg hematom. • Gejala klinik = kontusio serebri. • Penatalaksanaan : perawatan dengan medikamentosa dan tidak dilakukan operasi

PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006

HEMATOM EPIDURAL

HEMATOM SUBDURAL

• Lucid interval • Kesadaran makin menurun • Late hemiparesis kontralateral lesi • Pupil anisokor • Babinsky (+) kontralateral lesi • Fraktur daerah temporal * akibat pecah a. meningea media

• SDH akut : 1- 3 hr pasca trauma. • SDH subakut : 4-21 hr pasca trauma. • SDH khronis : > 21 hari. • Gejala: sakit kepala disertai /tidak disertai penurunan kesadaran * akibat robekan bridging vein

HEMATOM SUBARAKHNOID • Kaku kuduk • Nyeri kepala • Bisa didapati gangguan kesadaran • Akibat pecah aneurisme berry

Aneurysm

3/19/2019© 2009, American Heart Association. All rights reserved.

CT Scan non-contrast showing blood in basal cisterns (SAH) – so called “Star-Sign”

CT Scan courtesy: University of Texas Health Science Center at San Antonio, Department of Neurosurgery 3/19/2019© 2009, American Heart Association. All rights reserved.

85. Gerakan Involunter Abnormal Gangguan sistem ekstrapiramidalis: 1. Tremor • • •

serentetan gerakan involunter, agak ritmis, merupakan getaran. Timbul karena berkontraksinya otot2 yg berlawanan secara bergantian, melibatkan 1 atau lebih bagian tubuh. Jenis-jenis: • Tremor fisiologis, karena ketakutan atau marah • Tremor halus; pada hipertiroid, tremor pada jari dan tangan, keracunan nikotin, kafein, obat-obatan spt adrenalin, efedrin, barbiturat) • Tremor kasar; pada penyakit parkinson, gerakan jari seperti menghitung uang • Tremor intensi; tremor kasar, tjd pada kerusakan serebelum, diagnosa dgn tes telunjuk hidung

2. Khorea ; (Yunani = menari) • Gerakan otot cepat, aritmik dan kasar • Meliputi 1 ekstremitas, sebagian atau seluruh badan • Umumnya pada anggota gerak atas (lengan, tangan), terutama distal • Gerakan tidak harmonis antara otot2 penggerak • Anamnesa; luruskan tangan dan lengan, didapatkan hiperekstensi talang proksimal dan terminal, pergelangan tangan fleksi dengan sedikit pronasi. Lebih jelas bila tangan diangkat keatas jari-jari tangan akan direnggangkan , ibu jari abduksi dan terarah ke bawah.

• Korea sydenham – Manifestasi utama dari demam rematik akut (kriteria JONES pada tahun 1992) – Korea rematik ditandai dengan kelemahan otot dan terjadinya korea – Pasien menunjukkan milkman grip sign, gaya berjalan kaku dan gangguan bicara.

• Korea huntington – secara umum ditandai adanya kedutan pada jarijari dan pada wajah. Seiring waktu, amplitudo meningkat, pergerkan seperti menari mengganggu pergerakan voluntar dari ekstremitas dan berlawanan dengan gaya berjalan. Berbicara menjadi tidak teratur. (menyertai pasien dengan huntington disease)

3. Atetose (yunani = berubah)

• Gerakan lebih lamban. Berlainan dari khorea yang gerakannya berlangsung cepat, mendadak, dan terutama melibatkan bagian distal, maka atetose ditandai oleh gerakan yang lebih lamban, seperti gerak ular, dan melibatkan otot bagian distal. Namun demikian hal ini cenderung menyebar juga ke proksimal. Atetosis dapat dijumpai pada banyak penyakit yang melibatkan ganglia basal.

4. Distonia • Kerusakan besar ekstrapiramidal melibatkan ganglia basal. Gejalanya kompleks, dimulai dgn gerak otot (atetose) pada lengan / anggota gerak lain, dapat terjadi jg di otot leher dan punggung.

5. Balismus (hemibalismus) • Gerak otot yg datang tiba-tiba, kasar, cepat. Terjadi pada otot proksimal 6. Tik (tic) • Tik merupakan suatu gerakan terkoordinir, berulang, dan melibatkan sekelompok otot dalam hubungan yang sinergistik. Ada tik yang menyerupai spasme klonik, dan disebutkan sebagai spasme-kebiasaan (habit spasm). 7. Fasikulasi • Merupakan gerakan halus, cepat, dan berkedut dari 1 berkas (fasikulus) serabut otot / 1 unit motorik (kedutan kulit) 8. Spasme • Gerakan abnormal tjd karena kontraksi otot-otot yg dipersarafi satu saraf • Tjd karena iritasi saraf perifer / otot atau iritasi di suatu tempat (dari korteks – serabut otot) • Klonik; tiba-tiba, sebentar dan dapat berulang-ulang • Tonik ; lama dan terus menerus

9. Miokloni – Gerakan timbul karena kontraksi otot secara cepat, sekonyong2, sebentar aritmik, asinergik atau tidak terkendali – Meliputi sebagian satu otot, seluruh otot / sekelompok otot – Pada otot2 ekstemitas dan badan, pada otot muka, rahang, lidah faring dan laring – Miokloni hebat; rangsang emosional, mental, taktil, visual / auditorial – Berkurang; gerakan volunter bertambah, dapat timbul pada saat pasien tidur dan hilang saat setelah tidur

86. Radikulopati •

Radikulopati adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan gangguan fungsi dan struktur radiks akibat proses patologik yang dapat mengenai satu atau lebih radiks saraf dengan pola gangguan bersifat dermatomal. • Etiologi – Proses kompresif, Kelainan-kelainan yang bersifat kompresif sehingga mengakibatkan radikulopati adalah seperti : hernia nucleus pulposus (HNP) atau herniasi diskus, tumor medulla spinalis, neoplasma tulang, spondilolisis dan spondilolithesis, stenosis spinal, traumatic dislokasi, kompresif fraktur, scoliosis dan spondilitis tuberkulosa, cervical spondilosis – Proses inflammatori, Kelainan-kelainan inflamatori sehingga mengakibatkan radikulopati adalah seperti: Gullain-Barre Syndrome dan Herpes Zoster – Proses degeneratif, Kelainan-kelainan yang bersifat degeneratif sehingga mengakibatkan radikulopati adalah seperti Diabetes Mellitus

Tipe-tipe Radikulopati •

Radikulopati lumbar – Radikulopati lumbar merupakan problema yang sering terjadi yang disebabkan oleh iritasi atau kompresi radiks saraf daerah lumbal. – sering disebut sciatica. – Gejala jarang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa sebab seperti bulging diskus (disk bulges), spinal stenosis, deformitas vertebra atau herniasi nukleus pulposus. Radikulopati dengan keluhan nyeri pinggang bawah sering didapatkan (low back pain) Radikulopati cervical – Radikulopati cervical umunya dikenal dengan “pinched nerve” atau saraf terjepit merupakan kompresi pada satu atau lebih radix saraf uang halus pada leher – Gejala pada radikulopati cervical seringnya disebabkan oleh spondilosis cervical. Radikulopati torakal – Radikulopati torakal merupakan bentuk yang relative jarang dari kompresi saraf pada punggung tengah. Daerah ini tidak didesain untuk membengkok sebanyak lumbal atau cervical. Hal ini menyebabkan area thoraks lebih jarang menyebabkan sakit pada spinal. Namun, kasus yang sering yang ditemukan pada bagian ini adalah nyeri pada infeksi herpes zoster.

Lhermitte’s Test (or Phenomenon) • Sensasi seperti tersengat listrik yang menjalar ke secara radikuler menuju ke arah bawah sepanjang medula spinalis atau dapat pula menjalar ke arah ekstrimitas yang muncul saat dilakukan fleksi pada leher (Lhermitte sign +). • Hasil positif : – pasien dengan keterlibatan cervical cord – spondilitis servikal – tumor – multiple sklerosis.

Spurling’s Test • Procedure – Laterally flex the patient’s head and gradually apply strong downward pressure – If no pain is elicited, put the patient’s head in a neutral position and deliver a vertical blow to the uppermost portion of the patient’s head.

• Positive Test – Local pain indicates facet joint involvement – Radicular pain indicates nerve root pressure.

Spurling’s Test

Lasegue’s Test • Prosdur: pasien supine. Fleksikan sendi pinggul pasien dengan lutut tertekuk. Jaga pinggul tetap dalam keadaan fleksi, kemudian ekstensikan tungkai bawah. • Tes positif: radikulopati sciatik (+), jika: – Nyeri tidak ada pada kondisi pinggul dan lutut fleksi. – Nyeri muncul saat pinggul fleksi, dan kemudian lutut diekstensikan.

Bragard’s Test • Prosedur: pasien supine. Kaki pasien lurus kemudian elevasi hingga titik dimana rasa nyeri dirasakan. Turunkan 5o dan dorsofleksi kaki. • Positive Test: nyeri akibat traksi nervus sciatik. – Nyeri dengan dorsiflexion 0° to 35° – extradural sciatic nerve irritation. – Nyeri dengan dorsiflexion from 35° – 70° – intradural problem (usually IVD lesion). – Nyeri tumpul paha posterior tight hamstring.

Lhermitte’s Test (or Phenomenon) • Sensasi seperti tersengat listrik yang menjalar ke secara radikuler menuju ke arah bawah sepanjang medula spinalis atau dapat pula menjalar ke arah ekstrimitas yang muncul saat dilakukan fleksi pada leher (Lhermitte sign +). • Hasil positif : – pasien dengan keterlibatan cervical cord – spondilitis servikal – tumor – multiple sklerosis.

• Patrick Test (FABER) and contra-patrick test – Deteksi kondisi patologis dari sendi paggul dan sakroiliaka. – Pemeriksaan (+) jika terasa nyeri pada salah satu atau kedua sendi tersebut.

Patrick Test

Contra-patrick Test

Ganiswarna, S. 1981. “Farmakologi dan Terapi, edisi 2” Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

87. Golongan Hidantoin • • • •

Hidantoin merupakan senyawa laktam dari asam ureidoasetat ( 2,4-diokso-imidazolidin ) Bersifat sedatif lemah, kadang-kadang bersifat stimulan. Salah satu contohnya adalah Fenitoin. Fenitoin efektif dalam – –

Interaksi obat: –

Serangan tonik-klonik Kejang parsial

Mekanisme kerja: –

Menstabilkan membran sel saraf terhadap depolarisasi  mengurangi masuknya ion-ion natrium dalam neuron pada keadaan istirahat atau selama depolarisasi Menekan dan mengurangi influks ion kalsium selama depolarisasi dan menekan perangsangan sel saraf yang berulang-ulang.

Efek samping: –

– –

Depresi saraf pusat terjadi terutama dalam serebelum dan sistem vestibular, menyebabkan nistagmus dan ataksia Masalah gastrointestinal ( mual, muntah ) sering terjadi Hiperpelasia gusi bisa menyebabkan gusi tumbuh dan melampaui gigi  anak-anak Perubahan tingkah laku seperti kebingungan, halusinasi dan mengantuk sering terjadi.

Inhibisi metabolisme mikrosomal fenitoin dalam hati disebabkan oleh kloramfenikol, dikomarol, simetidin, sulfinamid, dan isoniazid. Penurunan konsentrasi fenitoin dalam plasma disebabkan oleh karbamazepin yang memperkuat fenitoin. Fenitoin menginduksi sistem P-450 yang menyebabkan peningkatan metabolisme anti epilepsi lain, anti koagulan, kontrasepsi oral : kuinidin, doksisiklin, siklosporin, mexiletina, metadon, dan levodopa.

Dosis: – – –

Permulaan sehari 2-5 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis Dosis pemeliharaan 2 dd 100-300 mg pada waktu makan dan minum banyak air Pada anak-anak 2-16 tahun, permulaan sehari 4-7 mg/BB dibagi dalam 2 dosis dan dosis pemeliharaan 4-11 mg/BB Bila dikombinasi dengan fenobarbital dosisnya dapat diperkecil. Dosis harian rata-rata 200-300 mg.

Golongan Suksinimida •

• •

Siksinimida berbeda konstitusinya secara kimia dengan definilhidantoin hanya dengan penggantian gugus NH pada posisi 1 dengan CH2 berbeda dengan fenitoin Suksinimida hanya berkhasiat pada berbagai epilepsi tipe petit mal sedangkan gejala grand mal akan lebih diperkuat dengan pemberian obat ini. Salah satu contohnya adalah Etoksuksimida Mekanisme kerja: • •

• •

Merupakan pilihan pertama pada serangan absence Efek samping: • •

Etoksuksimida mengurangi perambatan aktivitas listrik abnormal didalam otak Ethosuximide bekerja dengan cara menghambat aliran kalsium ambang-rendah ('arus T')Kanal Kalsium tipe T

Berupa sedasi, antara lain rasa mengantuk dan termenung sakit kepala, anoreksia, dan mual, juga bertahap. Leukopemia jarang terjadi, namun gambaran darah juga fungsi hati dan urin perlu dikontrol secara teratur.

Dosis: •

1-2 dd 250-500 mg sebagai tablet e.c. ( enterik coated ) berhubung rasanya tidak enak dan bersifat merangsang.

Ganiswarna, S. 1981. “Farmakologi dan Terapi, edisi 2” Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

Ganiswarna, S. 1981. “Farmakologi dan Terapi, edisi 2” Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

Asam Valproat •

Asam valproat ( asam dipropil asetat ) terutama untuk: – – –

Mekanisme kerja: – –

Keluhan saluran cerna, rambut rontok, gangguan pembekuan darah dan kerusakan hati.

Interaksi obat: – – –

Mengurangi perambatan lepasan listrik abnormal di dalam otak Memperkuat keja GABA pada sinaps-sinaps inhibisihambatan enzim yang menguraikan GABA ( g-aminobutyric acid) kadar GABA diotak meningkat.

Efek samping: –

absence piknoleptik serangan grand mal mioklonik.

Menghambat metabolisme fenobarbital  meningkatkan kadar barbiturat dalam sirkulasi Dapat meningkatkan kadar dan fenitoin di dalam darah Penggunaan bersamaandosis harus dikurangi sampai 30-50 % guna menghindari sedasi berlebih sebaliknya khasiatnya juga dIperkuat oleh anti epileptika lainnya.

Dosis: – – – –

Oral semula 3-4 dd 100-150 mg d.c. Dari garam natriumnya tablet ( tablet e.c ) kemudian berangsur-angsur dalam waktu 2 minggu dinaikkan sampai 2-3 dd 300-500 mg, maksimal 3 gram sehari. Anak-anak 20-30 mg/kg sehari. Asam bebasnya memberikan kadar plasma yang 15 % lebih tinggi (lebih kurang sama dengan persentase natrium dalam Na-valproat ) tetapi lain daripada itu tidak lebih menguntungkan.

Golongan Barbiturat • • • •

Memiliki sifat anti konvulsi yang baik terlepas dari sifat hipnotiknya Digunakan terutama senyawa kerja panjang untuk memberikan jaminan yang lebih kontinu terhadap serangan grand mal. Salah Satu contohnya adalah Fenobarbital Mekanisme kerja: • • • • •

Efek samping: • •

Sedasi seperti pusing, mengantuk, ataksia. Nistagmus, vertigo Agitasi dan kebingungan terjadi pada dosis tinggi.

Interaksi obat: • •

Fenobarbital memiliki aktivitas anti epilepsi membatasi penyebaran lepasan kejang didalam otak meningkatkan ambang serangan epilepsi. Mekanisme kerjanya tidak diketahui tetapi mungkin melibatkan potensiasi efek inhibisi dari neuronneuron yang diperantarai oleh GABA ( asam gama aminobutirat). Untuk mengatasi efek hipnotiknya obat ini dapat dikombinasi dengan kofein.

Bersifat menginduksi enzim, antara lain mempercepat penguraian kalsiferol ( Vitamin D2 ) dengan kemungkinan timbulnya rachitas ( penyakit inggris pada anak kecil ) Penggunaannya bersama dengan valproat harus hati-hati, karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan.

Dosis: •

1-2 dd 30-125 mg, maksimal 400 mg (dalam 2 kali), pada anak-anak 2-12 bulan 4 mg/kgBB sehari, pada status epileptikus, dewasa 200-300 mg.

Karbamazepin • •

Karbamazepin merupakan turunan dibenzazepin mempunyai sistem cincin yang sama seperti timoleptika opipramol dan hanya berbeda dari senyawa ini pada subsitituen N. Disaat ini senyawa ini merupakan salah satu anti epileptika yang terpenting dan paling banyak digunakan. Mekanisme kerja: •

Efek samping: • • •

Pemberian kronik  stupor, koma dan depresi pernapasan bersamaan dengan rasa pusing, vertigo, ataksia dan pandangan kabur merangsang lambung  timbul mual dan muntah Anemia aplastik, agranulositosis dan trombositopenia telah terjadi pada beberapa penderita.

Interaksi obat: • •

Mengurangi perambatan impuls abnormal didalam otak dengan cara menghambat kanal natrium, sehingga menghambat timbulnya potensial kerja yang berulang-ulang didalam fokus epilepsi.

Metabolisme dalam hati dihambat oleh beberapa obat Penyesuaian dosis pada gangguan fungsi heparmenghindari gejala-gejala toksik

Dosis: • • • •

Permulaan sehari 200-400 mg dibagi dalam beberapa dosis Berangsur-angsur dapat dinaikkan sampai 800-1200 mg dibagi dalam 2-4 dosis Pada manula setengah dari sosis ini Dosis awal bagi anak-anak: • sampai usia 1 tahun 100 mg sehari • 1-5 tahun 100-200 mg sehari • 5-10 tahun 200-300 mg sehari • dosis pemeliharaan 10-20 mg/kgBB sehari dibagi dalam beberapa dosis.

Golongan Benzodiazepin • Contohdiazepam, dan nitrazepam • Terutama digunakan pada epilepsi petit-mal pada bayi dan anak-anak. • Efektivitas pada: • • •

Mekanisme Kerja: • •

Absence piknoileptik serangan mioklonik astatik serangan propulsif. Menekan serangan yang berasal dari fokus epileptogenik efektif pada serangan absence dan mioklonik tetapi terjadi juga toleransi.

Efek samping: •

mengantuk, termenung-menung, pusing, dan kelemahan otot.

• Dosis: • • • • •

2-4 dd 2-10 mg dan i.v. 5-10 dengan perlahan-lahan (1-2 menit), bila perlu diulang setelah 30 menit pada anak-anak 2-5 mg Pada status epilepticus dewasa dan anak diatas usia 5 tahun 10 mg Pada anak-anak dibawah 5 tahun  5 mg sekali Pada konvulsi karena demam: anak-anak 0,25-0,5 mg/kg berat badan bayi • anak-anak dibawah 5 tahun5 mg • setelah 5 tahun 10 mg.

88. Koma • Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah atau keadaan ‘unarousable unresponsiveness’, yaitu keadaan dimana dengan semua rangsangan, penderita tidak dapat dibangunkan. • Dalam bidang neurology, koma merupakan kegawat daruratan medik yang paling sering ditemukan/dijumpai. • Koma bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan klinik tertentu yang disebabkan oleh berbagai faktor serta membutuhkan tindakan penanganan yang cepat dan tepat, dimana saja dan kapan saja. Rifat Naghmi, BSo, MD, Coma: quick evaluation and management

Gambaran Klinis Berdasarkan Letak Lesi Central Neurogenic hiperventilation

Rifat Naghmi, BSo, MD, Coma: quick evaluation and management

Pola Pernapasan A. Cheyne-stokes – Tidal volume waxes and wanes cyclically with recurrent periods of apnea. – Causes include CNS dysfunction, cardiac failure with low cardiac output, sleep, hypoxia, profound hypocapnia

B. Central Neurogenic – Exhibits very deep and rapid respirations – Usually seen with lesions of the midbrain and upper pons – Respirations are generally regular and the PaCO2 decrease due to the hyperventilation

C. Apneustic – End-inspiration pause before expiration. – Reflection of Pontine damage D. Cluster Breathing – Groups of irregular breathing with periods of apnea that occurs at irregular intervals – reflection of lesions in the low pons or upper medulla

E. Ataxic Breathing • Also known as ataxic respiration • An abnormal pattern of breathing characterized by complete irregularity in breathing marked by irregular pauses and increasing periods of apnea, or moments when a patient ceases to breathe.

Pola Pernapasan • •

Biot’s breathing (aka cluster respiration) A respiratory pattern characterized by periods or “clusters” of rapid respirations of near equal depth or VT followed by regular periods of apnea. Causes: – Biot’s breathing can be caused by damage to the medulla oblongata by stroke (CVA) or trauma, – pressure on the medulla due to uncal or tentorial herniation – can also be caused by prolonged opioid abuse.

Kussmaul Deep, rapid respiration with no end-expiratory pause. Causes profound hypocapnia Seen in profound metabolic acidosis, i.e. diabetic ketoacidosis

ypes of brain herniation[3] 1) Uncal 2) Central 3) Cingulate 4) Transcalvarial 5) Upward 6) Tonsillar

89. Dementia • Definition – acquired loss of multiple cognitive abilities significant enough to interfere with typical daily activities

• Multiple potential causes – – – – – – – –

stroke amyloid angiopathy traumatic brain injury normal pressure hydrocephalus other medical conditions (e.g., thyroid disorder, low vit B12) toxin exposure infection neurodegeneration

Neurodegenerative Diseases • Alzheimer’s disease • frontotemporal dementia (FTD) – behavioral variant (“Pick’s disease”) – primary progressive aphasias

predominantly cognitive symptoms

• posterior cortical atrophy (PCA) • • • •

progressive supranuclear palsy (PSP) corticobasal degeneration (CBD) dementia with Lewy bodies (DLB) Huntington’s disease

• Parkinson’s disease • ALS (Lou Gehrig’s disease)

cognitive & motor symptoms

predominantly motor symptoms

Brain Anatomy Lobe

Function

frontal

restraint, planning, initiative empathy language production (left)

temporal

memory face and object identification language comprehension (left)

parietal

spatial processing

occipital

visual processing

Frontotemporal Dementia • Definition – clinicopathologic condition consisting of deterioration of personality and cognition assoc. with prominent frontal and temporal lobe atrophy

• Accounts for up to 3-20% of dementias – Third behind AD and Lewy Body Dementia in neurodegenerative dementing illnesses

FTD: Clinical Findings

• Behavioral variant (bvFTD) – Disinhibition

• socially inappropriate behavior • impulsivity

– Apathy • loss of interest, drive, motivation

– Loss of sympathy / empathy – Repetitive / compulsive / ritualistic behavior

• Language variants (3 subtypes) – progressive nonfluent aphasia (PNFA) – logopenic progressive aphasia (LPA) – semantic dementia (SD)

Frontotemporal Dementia • Established clinical consensus criteria (The Lund and Manchester Groups, J Neurol Neurosurg Psychiatry 1994;57:416-418; Neary et. al, Neurology 1998;51:1546-1554):

• Core features o Insidious onset and slow progression o Early decline of • Social interpersonal conduct • Regulation of personal conduct • Insight o Early emotional blunting

• Supportive features: – Decline in personal hygiene and grooming – Mental rigidity and inflexibility – Distractibility and impersistence – Hyperorality – Perseverative behavior – Speech and language

Diagnosis • Neuropsychology: – Impaired frontal lobe tests in absence of severe amnesia, aphasia, or visuospatial deficits • Imaging: – Atrophy or decreased uptake in the frontal or anterior temporal lobes (bilateral or unilateral) by MRI, CT, PET, SPECT (The Lund and Manchester Groups, J Neurol Neurosurg Psychiatry 1994;57:416-418; Neary et. al, Neurology 1998;51:1546-1554)

89.Alzheimer Disease • Suatu gangguan psikiatri yang merupakan bentuk progresifitas dari dementia, yang berefek pada gangguan kognitif, behavior, dan fungsional • penyakit penurunan fungsi otak yang kompleks dan progresif sehingga daya ingat seseorang merosot tajam dan tidak dapat disembuhkan. • Etiologi – Belum diketahui secara pasti – Kemungkinan faktor genetik dan lingkungan sedang diteliti (gen ApoE atau β-secretase)

Faktor Resiko – – – – – –

Usia Riwayat keluarga Hipertensi Peningkatan LDL Penurunan HDL Diabetes

Patogenesis 1. Atrofi kortikal 2. Neurofibrillary Tangles (NFTs) 3. Plaque Amyloid 4. Kerusakan saraf kolinergik 5. Penurunan sintesis asetilkolin

1. Atrophy

3. Neurofibrillary tangles

2. Amyloid Plaques

Beta-amyloid Plaques • dense deposits of βprotein and cellular material that accumulate outside and around nerve cells Amyloid precursor protein (APP) is the precursor to amyloid plaque. 1. APP sticks through the neuron membrane.

2. Enzymes cut the APP into fragments protein, including beta-amyloid.

of

3. Beta-amyloid fragments come together in clumps to form plaques. Beta-amyloid juga dijumpai pada geriatri normal, tetapi tidak terkonsentrasi pada korteks/limbik

Neurofibrillary tangles (NFTs) Terjadi karena adanya hiperfosforilasi dari protein tau, sehingga menyebabkan mikrotubul kolaps

4. Terjadinya penurunan aktifitas kolinergik berpengaruh terhadap keparahan dari Alzheimer Disease 5. Terjadi penurunan jumlah enzim kolin asetiltransferase di korteks serebral dan hipocampus menyebabkan penurunan sintesis asetilkolin di otak

Diagnosis • a detailed patient history • information from family and friends • physical and neurological exams and lab tests • neuropsychological tests • imaging tools such as CT scan, or magnetic resonance imaging (MRI). PET scans are used primarily for research purposes • MMSE

Tahapan Penurunan Kognitif Menurut MMSE

Mild (MMSE score 26–18)

Moderate (MMSE score 17–10)

Difficulty remembering recent events, ability to manage finances, prepare food, and carry out other household activities declines. May get lost while

driving. Begins to withdraw from difficult tasks and to give up hobbies. Patient requires assistance with activities of daily living. Frequently disoriented with regard to time (date, year, season). Recall for recent

events is severely impaired. May forget some details of past life and names of family and friends. Functioning may fluctuate from day to day. Patient generally denies problems. May become suspicious or tearful. Loses ability to

drive safely. Agitation, paranoia, and delusions are common.

Severe (MMSE score

Patient loses ability to speak, walk, and feed self. Incontinent of urine and feces. Requires care 24 hours a day and 7 days a week.

9–0)

Mini Mental State Examination (MMSE)

Gejala Alzheimer

Tujuan Terapi • Menjaga fungsi-fungsi pasien selama mungkin • Menunda perkembangan penyakit

Strategi Terapi Non farmakologi Terapi non-farmakologi melibatkan pasien, keluarga, atau pengasuh khusus untuk mensupport, menghadapi dan memahami kondisi pasien Farmakologi • Terapi untuk mengatasi gejala penurunan kognisi atau menunda progresivitas penyakit • Terapi simptomatik

Terapi Farmakologi • inhibitor kolinesterase akan meningkatkan kadar asetilkolin (takrin, donepezil, rivastigmin, galantamin) • Antagonis reseptor NMDA : Memantine • Antioksidan dapat memperlambat progresivitas penyakit ( Vit E, selegilin (MAO inhibitor)) • Alternatif terapi : ekstrak gingko biloba sebagai neuroprotektif --- mengurangi kerapuhan kapiler, efek antioksidan, dan menghambat agregasi platelet tetapi masih perlu evidence yang lebih banyak.

Terapi Berdasarkan Stage AD

• Mild - Moderate AD – Inhibitor Cholinesterase ( Donepezil, Rivastigmin, Galantamine)

• Moderate - Severe AD – Antagonis NMDA (Memantine)

Terapi simptomatik Selain gejala gangguan kognitif juga terdapat gejala gangguan non kognitif seperti depresi,seperti gelisah, pelupa, dan insomnia • Gejala depresi --- antidepresan (SSRI,TCA) • Insomnia --- perlu hipnotik, atau antidepresan yang bersifat sedatif • Delusi --- curiga, menduga-duga yang salah, paranoid --- antipsikotik (dicari yang paling kurang efek sampingnya) --- atipikal (klozapin, quetiapin, risperidon)

90. Cedera Medulla Spinalis • Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra. • Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sem*ntara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.

PENATALAKSANAAN 1.Tentukan cedera medula spinalis akut? 2.Lakukan stabilisasi medula spinalis 3. Atasi gangguan fungsi vital yaitu airways, breathing 4.Perhatikan perdarahan dan sirkulasi, hipotensi, shok neurogenik 5.Medical: – methylprednisolon 30mg/kgBB iv bolus dalam 15 menit – dilanjutkan 5,4mg/kgBB/jam iv hingga 24 jam bila dosis inisial diberikan 2 minggu • Episode depresif sedang: 2 gejala utama + 3 gejala lain, >2 minggu. • Episode depresif berat: 3 gejala utama + 4 gejala lain > 2 minggu. Jika gejala amat berat & awitannya cepat, diagnosis boleh ditegakkan meski kurang dari 2 minggu. • Episode depresif berat dengan gejala psikotik: episode depresif berat + waham, halusinasi, atau stupor depresif. PPDGJ

DSM-IV Criteria

Terapi Depresi • Sasarannya adalah perubahan biologis/efek berupa mood pasien. • Karena mood pasien dipengaruhi kadar serotonin dan nor-epinefrin di otak, maka tujuan pengobatan depresi adalah modulasi serotonin dan norepinefrin otak dengan agenagen yang sesuai. • Dapat berupa terapi farmakologis dan non farmakologis.

Terapi Non Farmakologis • PSIKOTERAPI – interpersonal therapy: berfokus pada konteks sosial depresi dan hub pasien dengan orang lain – cognitive - behavioral therapy „: berfokus pada mengoreksi pikiran negatif, perasaan bersalah yang tidak rasional dan rasa pesimis pasien

• ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT): aman dan efektif, namun masih kontroversial „ – diindikasikan pada : ™ depresi yang berat ™diperlukan respons yang cepat, ™™respon terhadap obat jelek

Terapi Farmakologis

Dosis Obat Antidepresan

Perbandingan Efek Samping Antidepresan

98. MANIA & HIPOMANIA • Pada prinsipnya, gejala mania dan hipomania serupa. • Namun pada mania, gejala mengganggu fungsi sosialnya dan bisa terdapat gejala psikotik. • Pada hipomania, umumnya lingkungan sekitar tidak terganggu dan tidak ada gejala psikotik.

Gejala Depresi • Gejala utama: 1. afek depresif, 2. hilang minat & kegembiraan, 3. mudah lelah & menurunnya aktivitas.

• Gejala lainnya: 1. konsentrasi menurun, 2. harga diri & kepercayaan diri berkurang, 3. rasa bersalah & tidak berguna yang tidak beralasan, 4. merasa masa depan suram & pesimistis, 5. gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, 6. tidur terganggu, 7. perubahan nafsu makan (naik atau turun). PPDGJ

99. SEXUAL DYSFUNCTION • Sexual desire disorders

– Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD); • Persistently or recurrently deficient (or absent) sexual fantasies and desire for sexual activity – Sexual Aversion Disorder (SAD) • Persistent or recurrent extreme aversion to, and avoidance of, all (or almost all) genital sexual contact with a sexual partner.

• Sexual arousal disorders

– Female Sexual Arousal Disorder (FSAD) • Persistent or recurrent inability to attain, or to maintain until completion of the sexual activity, an adequate lubrication-swelling response of sexual excitement. – Male Erectile Disorder • Persistent or recurrent inability to attain, or to maintain until completion of the sexual activity, an adequate erection.

(APA, 2000)

• org*smic disorders – Female org*smic Disorder (Inhibited Female org*sm) – Male org*smic Disorder (Inhibited Male org*sm) – Premature ejacul*tion

• Sexual pain disorders – Dyspareunia: recurrent or persistent genital pain associated with sexual intercourse. – Vaginismus: involuntary muscle constriction of the outer third of the vagin* that interferes with penile insertion and intercourse.

• Sexual dysfunction due to general medical condition • Substance-Induced Sexual Dysfunction – With impaired desire/With impaired arousal/With impaired org*sm/With sexual pain/With onset during intoxication

• Sexual Dysfunction Not Otherwise Specified (NOS)

Diagnosis Ejakulasi Dini (DSM-IV-TR)

100. DEMENSIA Pedoman diagnostik demensia (PPDGJ III): • Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, yang sampai mengganggu kegiatan harian seseorang (personal activities of daily living) seperti : mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil. • Tidak ada gangguan kesadaran (clear consciousness) • Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan

Klasifikasi Demensia Berdasarkan Etiologinya • Demensia pada penyakit Alzheimer • Demensia vaskular • Demensia pada penyakit Pick • Demensia pada penyakit Creutfeld-Jacob • Demensia pada penyakit Huntington • Demensia pada Penyakit Parkinson • Demensia pada Penyakit HIV/AIDS Demensia tipe Alzheimer prevalensinya paling besar (5060%), disusul demensia vaskular (20-30%).

Tanda dan Gejala Awal Demensia Alzheimer

American Academy of Neurology, 2012

Deteksi Dini Demensia • Dengan menggunakan mini mental state examination (MMSE)/ Folstein test. • Interpretasi skor MMSE: – 24-30: kognitif normal – 19-23: mild cognitive impairment – 10-18: moderate cognitive impairment – basa  memicu pembentukan kristal sitruvit & kalsium karbonat – Endotoksin  induksi respon inflamasi  hemolisin

• Gejala: sistitis, urgensi, hematuria

Swarming Phenomenon • Swarming adalah terbentuknya zona konsentrik pada pertumbuhan bakteri yang menutupi permukaan media pertumbuhan agar darah • Ditemukan pada P. mirabilis dan P. vulgaris • Bakteri tsb memiliki flagela dan bersifat sangat motil sehingga menimbulkan pola pertumbuhan yang khas dan aroma ikan asin

123. Fascioliasis • Biasanya menginfeksi duktus biliaris dan hati, namun dapat mengenai bagian tubuh yang lain • Fase Akut: gejala muncul akibat migrasi parasit dari intestinal ke dan melewati hati • Gejala dan Tanda – Masalah GI seperti mual, muntah, nyeri perut, – Demam, ruam, dan sulit bernapas dapat terjadi

http://web.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2001/fascioliasis/Fasciola.htm

Fase Infeksi

Acute Phase – Rarely seen in humans – Occurs only when a large number of metacercariae are ingested at once. – After 4-7 days after ingestion: Fever, tender hepatomegaly, and abdominal pain the most frequent symptoms – vomiting, diarrhea, urticaria (hives), anemia, and may all be present. – Caused by the migration of the F. hepatica larvae throughout the liver parenchyma., the larvae penetrate the liver capsule – Migration continues for 6-8 weeks until the larvae mature and settle in the bile ducts.

Chronic Phase – Much more common in human populations – Biliary cholic, abdominal pain, tender hepatomegaly, and jaundice, severe anemia (In children) – These symptoms reflect the biliary obstruction and inflammation caused by the presence of the large adult worms and their metabolic waste in the bile ducts. – Inflammation of the bile ducts eventually leads to fibrosis and a condition called "pipestem liver", a term describing the white appearance of the biliary ducts after fibrosis portal cirrhosis and death.

Halzoun – a type of Fasciola hepatica infection in which the worm settles in the pharynx – This occurs when an individual consumes infected raw liver. – The young adult worms then attach themselves to the pharyngeal mucosa which causes considerable pain, edema, and bleeding that can interfere with respiration – The adults can live in the biliary ducts, causing symptoms for up to 10 years.

Ectopic Infection – Ectopic infections through normal transmission are infrequent but can occur in the peritoneal cavity, intestinal wall, lungs, subcutaneous tissue, and very rarely in other locations.

Fasciola Hepatica: Siklus Hidup

Fasciola Hepatica: Telur pada Mikroskopik

A, B, C: Telur Fasciola hepatica. Pengecatan: iodine. A,B bentuk membulat; C. Terlihat operculum pada terminal

Fasciola Hepatica: Tatalaksana • DOC: Triclabendazole – Dosis: 10 mg/kg/dosis, dalam 2 dosis terpisah 12-24 jam • Alternatif: Nitazoxanide – Untuk fase kronik – 2x500 mg/hari selama 7 hari • Praziquantel – Tidak efektif untuk mengobati fasciola hepatica

http://emedicine.medscape.com/article/997890-treatment http://reference.medscape.com/drug/biltricide-praziquantel-342666

Nama cacing

Gejala Klinis

Morfologi

Fasciola hepatika

Gangguan GIT mual, muntah, nyeri abdomen, demam Peradangan, penebalan,sumbatan sal.empedusiroris periporta

• Cacing pipih spt daun • Cacing dewasa memiliki batil isap kepala dan perut • Telursulit dibedakan dengan F.buski, sdkt melebar pada abopercular • Telur dikeluarkan belum matang, matang dalam air berisi mirasidium

Fasciolopsis buski

Sebagian besar asimptomatik. Nyeri perut (epigastrium),diare kronik diselingi konstipasi,tinja berisi makanan yang tidak tercerna,anemia akibat perdarahan ulkus/abses,reaksi alergi thdp komponen cacing,obstruksi usus

• Cacing dewasa memiliki batil isap kepala dan perut • Telurelips,dinding transparan,operkulum kecil nyaris tidak terlihat,imatur(tidak ada embrio)

Bentuk

124. Taeniasis Saginata • Etiologi: – Taenia saginata

• Morfologi – Cacing dewasa4-12 m • Skoleks • Leher • Strobilaproglotid

– Proglotid gravid15-30 cabang – TelurTelur bulat berdinding tebal, memiliki stria radial Gandahusada S, et al. Parasitologi Kedokteran. Balai Penerbit FKUI. Jakarta:2004 http://www.cdc.gov/parasites/taeniasis/gen_info/faqs.html

Taeniasis & Sistiserkosis (Cacing Pita) Gejala •

mual, konstipasi, diare; sakit perut; lemah; kehilangan nafsu makan; sakit kepala; berat badan turun, benjolan pada jaringan tubuh (sistiserkosis) Telur • Bulat dengan embrio berstria radier tebal • Berisi onkosfer dengan 6 kait • Ukuran 31-34 mcm

DOC: Prazikuantel 5-10 mg/kgBB SD (untuk anak ≤ 4 tahun safety dan efficacy belum jelas) Alternatif: Albendazole 15 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis selama 15 hari

Taenia sp. : Taeniasis Taenia Solium

Taenia Saginata

• Skoleks: mempunyai 4 batil isap dan rostelum dgn 2 baris kait

• Skoleks: mempunyai 4 batil isap, tanpa kait-kait

Gejala ec cacing: subklinis, nyeri ulu hati, mencret, mual, konstipasi, sakit kepala

• Gejala ec sistiserkosis: pseudohipertrofi otot, miositis, demam tinggi, eisonofilia, epilepsi, meningoensefalitis, hidrosefalus

• Gejala ec cacing: subklinis, nyeri ulu hati, mencret, mual, konstipasi, sakit kepala

Taenia sp. : Proglotid Taenia Saginata • Proglotid memiliki cabang uterus sebanyak 15-30 buah

Taenia Solium • Proglotid memiliki canag uterus sebanyak 7-12 buah

PERBEDAAN KARAKTERISTIK T. s a g i n a t a

T. s o l i u m

Penyakit

Taeniasis

Taeniasis dan sistiserkosis

Panjang cacing dws

4-12 m

2-4 m & 8 m

∑ proglotid

1000-2000

800-1000

Skolek

Tanpa rostelum/kait-kait Punya rostelum + kait-kait

Proglotid

Keluar sendiri scr aktif satu-satu

Keluar bersama tinja 2-3 progl.

Matang

Ovarium 2 lobus

Ovarium trilobus

Gravid

15-30 cabang lateral

7-12 cabang lateral

∑ telur/proglotid

100.000

30.000-50.000

Larva

Cystisercus bovis

Cystisercus cellulose

Hospes perantara

Sapi

Babi dan manusia

Cara infeksi

Makan daging sapi yg Makan daging babi yg mengandung mengandung cystisercus cystisercus cellulose (mjd taeniasis) bovis dan tertelan telur (mjd sistiserkosis)

Neurocysticercosis • Cysticercosispenyakit akibat infeksi T. Solium • Neurocysticercosis  penyakit akibat infeksi T. solium ke CNS • Terbagi menjadi parenkimal dan ekstraparenkimal - Pada parenkimal, penyakit terjadi karena T. solium menginfeksi parenkim otak - Pada ekstraparenkimal, penyakit terjadi karena T. solium bermigrasi ke dalam CSF dan masuk ke ventrikel, sisterna, subarachnoid, dan juga mata dan medulla spinalis

• Akan tetapi, 80% asimptomatik • Gejala umum: kejang, peningkatan TIK, meningoensefalitis, gangguan psikiatri, stroke, dan radikulopati dan/atau myelopati

Neurocysticercosis • Neurocysticercosis parenkimal - Kejang fokal, fokal dengan parsial umum, atau umum - Nyeri kepala seperti migrain atau tension - Defisit neurokognitifsulit mempelajari sesuatu, depresi, bahkan psikotik

• Neurocysticercosis ekstraparenkimal - Nyeri kepala - Hidrosefalus - Peningkatan TIK (mual, muntah, nyeri kepala, penurunan kesadaran, dsb) - Jika terdapat di basilar cisterns bisa menyebabkan hidrosefalus komunikans atau bahkan lacunar infarct - Jika ada di spinalradiculopaty - Jika di matagangguan penglihatan

Neurocysticercosis • Tatalaksana – Mengatasi peningkatan TIK (bedah dan atau kortikosteroid) dan kejang, jika ada. • Operasi eksisi pada lesi • Antikonvulsan jika kejang • Kortikosteroidjika ada edema serebri atau vaskulitis (prednisone 1mg/kgBB/hari)

• Setelah itu, bisa diberikan antiparasit dan anti-inflamasi. Antiparasit tidak boleh diberikan pada pasien dengan tanda peningkatan TIK dan harus ditambah steroid sebelum dan selama pemberian. – Untuk pasien dengan satu atau dua kista, pengobatan terdiri dari albendazole (15 mg/kgBB/2 dosis per hari maks 1200 mg per hari) selama 10-14 hari. – Untuk pasien dengan lebih dari dua kista, pengobatan terdiri dari albendazole (15 mg / kgBB/2 dosis per hari maks 1200 mg per hari) dan praziquantel (50 mg/kgBB/3 dosis per hari) selama 10-14 hari

KEY POINTS

ILMU KESEHATAN ANAK

125. Infeksi Saluran Kemih • UTI pada anak perempuan 3-5%, laki-laki 1% (terutama yang tidak disirku*msisi) • Banyak disebabkan oleh bakteri usus: E. coli (75-90%), Klebsiella, Proteus. Biasanya terjadi secara ascending. • Gejala dan tanda klinis, tergantung pada usia pasien: – Neonatus: Suhu tidak stabil, irritable, muntah dan diare, napas tidak teratur, ikterus, urin berbau menyengat, gejala sepsis – Bayi dan anak kecil: Demam, rewel, nafsu makan berkurang, gangguan pertumbuhan, diare dan muntah, kelainan genitalia, urin berbau menyengat – Anak besar: Demam, nyeri pinggang atau perut bagian bawah, mengedan waktu berkemih, disuria, enuresis, kelainan genitalia, urin berbau menyengat Fisher DJ. Pediatric urinary tract infection. http://emedicine.medscape.com/article/969643-overview American Academic of Pediatrics. Urinary tract infection: clinical practice guideline for the diagnosis and management of the initial UTI in febrile infants and children 2 to 24 months. Pediatrics 2011; 128(3).

ISK • 3 bentuk gejala UTI: – Pyelonefritis (upper UTI): nyeri abdomen, demam, malaise, mual, muntah, kadang-kadang diare – Sistitis (lower UTI): disuria, urgency, frequency, nyeri suprapubik, inkontinensia, urin berbau – Bakteriuria asimtomatik: kultur urin (+) tetapi tidak disertai gejala • Pemeriksaan Penunjang : – Urinalisis : Proteinuria, leukosituria (>5/LPB), Hematuria (Eritrosit>5/LPB) – Biakan urin dan uji sensitivitas – Kreatinin dan Ureum – Pencitraan ginjal dan saluran kemih untuk mencari kelainan anatomis maupun fungsional • Diagnosa pasti : Bakteriuria bermakna pada biakan urin (>10 5 koloni kuman per ml urin segar pancar tengah (midstream urine) yang diambil pagi hari) Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. & PPM IDAI

Tatalaksana • •

Tujuan : Memberantas kuman penyebab, mencegah dan menangani komplikasi dini, mencari kelainan yang mendasari Umum (Suportif) – Masukan cairan yang cukup – Edukasi untuk tidak menahan berkemih – Menjaga kebersihan daerah perineum dan periurethra – Hindari konstipasi Khusus – Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, antibiotik diberikan secara empirik selama 710 hari – Obat rawat jalan : kotrimoksazol oral 24 mg/kgBB setiap 12 jam, alternatif ampisilin, amoksisilin, kecuali jika : • Terdapat demam tinggi dan gangguan sistemik • Terdapat tanda pyelonefritis (nyeri pinggang/bengkak) • Pada bayi muda – Jika respon klinis kurang baik, atau kondisi anak memburuk berikan gentamisin (5-7.5 mg/kg IV sekali sehari) + ampisilin (25-50 mg/kg IV setiap 6 jam) atau sefalosporin gen-3 parenteral – Antibiotik profilaksis diberikan pada ISK simpleks berulang, pielonefritis akut, ISK pada neonatus, atau ISK kompleks (disertai kelainan anatomis atau fungsional) – Pertimbangkan komplikasi pielonefritis atau sepsis

Interpretasi Hasil Biakan Urin

Algoritme Penanggulangan dan Pencitraan Anak dengan ISK

Dosis Obat Pada UTI Anak

*Rentang dosis seftriakson untuk infeksi berat adalah 50-75/kgBB/hari

126. Ikterus yang Berhubungan dengan ASI (Fisiologis) Breast Feeding Jaundice (BFJ) •

• •

Disebabkan oleh kurangnya asupan ASI sehingga sirkulasi enterohepatik meningkat (pada hari ke-2 atau 3 saat ASI belum banyak) Timbul pada hari ke-2 atau ke-3 Penyebab: asupan ASI kurang  cairan & kalori kurang  penurunan frekuensi gerakan usus  ekskresi bilirubin menurun

Breast Milk Jaundice (BMJ) •

• • •

Berhubungan dengan pemberian ASI dari ibu tertentu dan bergantung pada kemampuan bayi mengkonjugasi bilirubin indirek Kadar bilirubin meningkat pada hari 4-7 Dapat berlangsung 3-12 minggu tanpa penyabab ikterus lainnya Penyebab: 3 hipotesis – Inhibisi glukuronil transferase oleh hasil metabolisme progesteron yang ada dalam ASI – Inhibisi glukuronil transferase oleh asam lemak bebas – Peningkatan sirkulasi enterohepatik

Indikator

BFJ

BMJ

Awitan

Usia 2-5 hari

Usia 5-10 hari

Lama

10 hari

>30 hari

Volume ASI

asupan ASI kurang  cairan & kalori kurang  penurunan frekuensi gerakan usus  ekskresi bilirubin menurun

Tidak tergantung dari volume ASI

BAB

Tertunda atau jarang

Normal

Kadar Bilirubin

Tertinggi 15 mg/dl

Bisa mencapai >20 mg/dl

Pengobatan

Tidak ada, sangat jarang fototerapi Teruskan ASI disertai monitor dan evaluasi pemberian ASI

Fototerapi, Hentikan ASI jika kadar bilirubin > 16 mg/dl selama lebih dari 24 jam (untuk diagnostik) AAP merekomendasikan pemberian ASI terus menerus dan tidak menghentikan Gartner & Auerbach merekomendasikan penghentian ASI pada sebagian kasus

• For healthy term infants with breast milk or breastfeeding jaundice and with bilirubin levels of 12 mg/dL to 17 mg/dL, the following options are acceptable: Increase breastfeeding to 8-12 times per day and recheck the serum bilirubin level in 12-24 hours. • Temporary interruption of breastfeeding is rarely needed and is not recommended unless serum bilirubin levels reach 20 mg/dL. • For infants with serum bilirubin levels from 17-25 mg/dL, add phototherapy to any of the previously stated treatment options. • The most rapid way to reduce the bilirubin level is to interrupt breastfeeding for 24 hours, feed with formula, and use phototherapy; however, in most infants, interrupting breastfeeding is not necessary or advisable

Breast Milk Jaundice Treatment & Management. Medscape.com

127. THALASSEMIA • Penyakit genetik dgn supresi produksi hemoglobin karena defek pada sintesis rantai globin (pada orang dewasa rantai globin terdiri dari komponen alfa dan beta) • Diturunkan secara autosomal resesif • Secara fenotip: mayor (transfusion dependent), intermedia (gejala klinis ringan, jarang butuh transfusi), minor/trait (asimtomatik) • Secara genotip: – Thalassemia beta (kromosom 11, kelainan berupa mutasi)  yang mayoritas ditemukan di Indonesia • Tergantung tipe mutasi, bervariasi antara ringan (++, +) ke berat (0)

– Thalassemia alfa (Kromosom 16, kelainan berupa delesi) • • • •

-thal 2 /silent carrier state: delesi 1 gen -thal 1 / -thal carrier: delesi 2 gen: anemia ringan Penyakit HbH: delesi 3 gen: anemia hemolitik sedang, splenomegali Hydrops foetalis / Hb Barts: delesi 4 gen, mati dalam kandungan Wahidiyat PA. Thalassemia and hemoglobinopathy.

Klasifikasi α-Thalassemia syndromes Number of α-Globin Genes Transcribed

Syndrome

Hematocrit

MCV

4

Normal

Normal

Normal

3

Silent carrier

Normal

Normal

2

Thalassemia minor (or Trait)

28–40%

60–75 fL

1

Hemoglobin H disease

22–32%

60–70 fL

Hydrops fetalis

Β-Thalassemia syndromes α-Globin Genes Transcribed

Hb A

hom*ozygous β

97–99%

1–3%

200-220 ml/kg/tahun

Transplantasi (sumsum tulang, darah umbilikal) Fetal hemoglobin inducer (meningkatkan Hgb F yg membawa O2 lebih baik dari Hgb A2) Terapi gen

128. Acquired Prothrombine Complex Deficiency (APCD) dengan Perdarahan Intrakranial • Sebelumnya disebut sebagai Hemorrhagic Disease of the Newborn (HDN) atau Vitamin K Deficiency Bleeding • Etiologinya adalah defisiensi vitamin K yang dialami oleh bayi karena : (1) Rendahnya kadar vitamin K dalam plasma dan cadangan di hati, (2) Rendahnya kadar vitamin K dalam ASI, (3) Tidak mendapat injeksi vitamin K1 pada saat baru lahir • Mulai terjadi 8 hari-6 bulan, insidensi tertinggi 3-8 minggu • 80-90% bermanifestasi menjadi perdarahan intrakranial Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010

Hemorrhagic disease of newborn (HDN) Acquired prothrombrin complex deficiency (APCD) Stadium

Characteristic

Early HDN

Occurs within 2 days of life. Baby born of mother who has been on certain drugs: anticonvulsant, antituberculous drug, antibiotics, VK antagonist anticoagulant.

Classic HDN

Occurs during 2 to 7 day of life when the prothrombin complex is low. It was found in babies who do not received VKP or VK supplemented.

Late HDN / APCD

Acquired bleeding disorder in the 2 week to 6 month age infant caused by reduced vitamin K dependent clotting factor (II, VII, IX, X) with a high incidence of intracranial hemorrhage and responds to VK.

Diagnosis APCD • Diagnosis – Anamnesis : Bayi kecil yang sebelumnya sehat, tiba-tiba tampak pucat, malas minum, lemah. Tidak mendapat vitamin K saat lahir, konsumsi ASI, kejang fokal – PF : Pucat tanpa perdarahan yang nyata. Tanda peningkatan tekanan intrakranial (UUB membonjol, penurunan kesadaran, papil edema), defisit neurologis fokal – Pemeriksaan Penunjang : Anemia dengan trombosit normal, PT memanjang, APTT normal/memanjang. USG/CT Scan kepala : perdarahan intrakranial – Pada bayi dengan kejang fokal, pucat, disertai UUB membonjol harus difikirkan APCD sampai terbukti bukan Buku PPM Anak IDAI

Tatalaksana APCD • Pada bayi dengan kejang fokal, pucat, dan UUB membonjol, berikan tatalaksana APCD sampai terbukti bukan • Vitamin K1 1 mg IM selama 3 hari berturut-turut • Transfusi FFP 10-15 ml/kgBB selama 3 hari berturut-turut • Transfusi PRC sesuai Hb • Tatalaksana kejang dan peningkatan tekanan intrakranial (Manitol 0,5-1 g/kgBB/kali atau furosemid 1 mg/kgBB/kali) • Konsultasi bedah syaraf • Pencegahan : Injeksi Vitamin KI 1 mg IM pada semua bayi baru lahir Buku PPM Anak IDAI

129. Meningitis & ensefalitis • Meningitis – Meningitis bakterial: E. coli, Streptococcus grup B (bulan pertama kehidupan); Streptococcus pneumoniae, H. influenzae, N. meningitidis (anak lebih besar) – Meningitis viral: paling sering pada anak usia < 1 tahun. Penyebab tersering: enterovirus – Meningitis fungal: pada imunokompromais – Gejala klasik: demam, sakit kepala hebat, tanda rangsang meningeal (+). Gejala tambahan: iritabel, letargi, muntah, fotofobia, gejala neurologis fokal, kejang

• Ensefalitis: inflamasi pada parenkim otak – Penyebab tersering: ensefalitis viral – Gejala: demam, sakit kepala, defisit neurologis (penurunan kesadaran, gejala fokal, kejang) Hom J. Pediatric meningitis and encephalitis. http://emedicine.medscape.com/article/802760-overview

Meningitis bakterial: Patofisiologi

Pemeriksaan Penunjang • Darah perifer lengkap dan kultur darah • Gula darah dan elektrolit jika terdapat indikasi • Pungsi lumbal untuk menegakkan diagnosis dan menentukan etiologi – Pada kasus berat sebaiknya ditunda – Kontraindikasi mutlak : Terdapat gejala peningkatan tekanan intrakranial – Diindikasikan pada suspek meningitis, SAH, dan penyakit SSP yang lain (eg. GBS) – Protokol pertama pada kasus kejang pada anak usia < 1 tahun  sangat dianjurkan; 12-18 bln  dianjurkan; > 18 bln  tidak rutin dilakukan

• CT Scan dengan kontras atau MRI pada kasus berat, atau dicurigai adanya abses otal, hidrosefalus, atau empiema subdural • EEG jika ditemukan perlambatan umum

Normal CSF Values in Children White cell count

Biochemistry

Neutrophils (x 106 /L)

Lymphocytes (x 106/L)

Protein (g/L)

Glucose (CSF:blood ratio)

Normal (>1 month of age)

≤5

< 0.4

≥ 0.6 (or ≥ 2.5 mmol/L)

Normal neonate (1 year old) • An appropriate empiric regimen (ie, one that covers antibiotic-resistant S. pneumoniae, N. meningitidis, and Hib) includes vancomycin and high doses of a third-generation cephalosporin (eg, ceftriaxone, cefotaxime): – Vancomycin 60 mg/kg per day intravenously (IV) (maximum dose 4 g/day) in 4 divided doses, plus – Ceftriaxone 100 mg/kg per day IV (maximum dose 4 g/day) in 1 or 2 divided doses, or cefotaxime (if available) 300 mg/kg per day IV (maximum dose 12 g/day) in 3 or 4 divided doses Uptodate. 2018

130. Trauma Lahir Ekstrakranial Kaput Suksedaneum • Paling sering ditemui • Tekanan serviks pada kulit kepala • Akumulasi darah/serum subkutan, ekstraperiosteal • TIDAK diperlukan terapi, menghilang dalam beberapa hari.

Perdarahan Subgaleal • Darah di bawah galea aponeurosis • Pembengkakan kulit kepala, ekimoses • Mungkin meluas ke daerah periorbital dan leher • Seringkali berkaitan dengan trauma kepala (40%).

Trauma Lahir Ekstrakranial: Sefalhematoma • Perdarahan sub periosteal akibat ruptur pembuluh darah antara tengkorak dan periosteum • Etiologi: partus lama/obstruksi, persalinan dengan ekstraksi vakum, Benturan kepala janin dengan pelvis • Paling umum terlihat di parietal tetapi kadang-kadang terjadi pada tulang oksipital • Tanda dan gejala: – massa yang teraba agak keras dan berfluktuasi; – pada palpasi ditemukan kesan suatu kawah dangkal didalam tulang di bawah massa; – pembengkakan tidak meluas melewati batas sutura yang terlibat

Trauma Lahir Ekstrakranial: Sefalhematoma • Ukurannya bertambah sejalan dengan bertambahnya waktu • 5-18% berhubungan dengan fraktur tengkorak • Umumnya menghilang dalam waktu 2 – 8 minggu • Komplikasi: ikterus, anemia • Kalsifikasi mungkin bertahan selama > 1 tahun. • Catatan: Jangan mengaspirasi sefalohematoma meskipun teraba berfluktuasi • Tatalaksana: • Observasi pada kasus tanpa komplikasi • Transfusi jika ada indikasi • Fototerapi (tergantung dari kadar bilirubin total)

131. Sepsis Neonatorum • Sindrom klinik penyakit sistemik akibat infeksi yang terjadi pada satu bulan pertama kehidupan. Mortalitas mencapai 13-25% • Jenis : – Early Onset = Dalam 3 hari pertama, awitan tiba-tiba, cepat berkembang menjadi syok septik (Group B Streptococcus (GBS))

– Late Onset = setelah usia 3 hari, sering diatas 1 minggu, ada fokus infeksi, sering disertai meningitis (Coagulase-negative Staphylococcus)

• Tanda awal sepsis pada bayi baru lahir tidak spesifik → diperlukan skrining dan pengelolaan faktor risiko Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010.

Kriteria Infeksi, SIRS, Sepsis, Sepsis Berat, dan Syok Septik

Sindrom disfungsi multiorgan

Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah mendapatkan pengobatan optimal Goldstein B., Giroir B., Randolph A., Pedriatric Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8.

Kriteria SIRS Neonatorum

Skrining • Kecurigaan besar sepsis bila : – Bayi umur sampai dengan usia 3 hari • Riwayat ibu dengan infeksi rahim, demam dengan kecurigaan infeksi berat, atau ketuban pecah dini • Bayi memiliki dua atau lebih gejala yang tergolong dalam kategori A, atau tiga atau lebih gejala pada kategori B

– Bayi usia lebih dari 3 hari • Bayi memiliki dua atau lebih temuan Kategori A atau tiga atau lebih temuan Kategori B

Kelompok Temuan berhubungan dengan Sepsis Kategori A

Kategori B

Kesulitan Bernapas (>60x/menit, retraksi dinding dada, grunting, sianosis sentral, apnea)

Tremor

Kejang

Letargi atau lunglai, malas minum padahal sebelumnya minum dengan baik

Tidak sadar

Mengantuk atau aktivitas berkurang

Suhu tubuh tidak normal (sejak lahir dan tidak memberi respons terhadap terapi) atau suhu tidak stabil sesudah pengukuran suhu selama tiga kali atau lebih

Iritabel, muntah, perut kembung

Persalinan di lingkungan yang kurang higienis

Tanda-tanda mulai muncul setelah hari ke-empat

Kondisi memburuk secara cepat dan dramatis

Air ketuban bercampur mekonium

132. Sindrom Nefrotik •

• •

Spektrum gejala yang ditandai dengan protein loss yang masif dari ginjal Pada anak sindrom nefrotik mayoritas bersifat idiopatik, yang belum diketahui patofisiologinya secara jelas, namun diperkirakan terdapat keterlibatan sistem imunitas tubuh, terutama sel limfosit-T Gejala klasik: proteinuria, edema, hiperlipidemia, hipoalbuminemia Gejala lain : hipertensi, hematuria, dan penurunan fungsi ginjal

Di bawah mikroskop: Minimal change nephrotic syndrome (MCNS)/Nil Lesions/Nil Disease (lipoid nephrosis) merupakan penyebab tersering dari sindrom nefrotik pada anak, mencakup 90% kasus di bawah 10 tahun dan >50% pd anak yg lbh tua. Faktor risiko kekambuhan: riwayat atopi, usia saat serangan pertama, jenis kelamin dan infeksi saluran pernapasan akut akut (ISPA) bagian atas yang menyertai atau mendahului terjadinya kekambuhan, ISK

Lane JC. Pediatric nephrotic syndrome. http://emedicine.medscape.com/article/982920-overview

Sindrom Nefrotik • Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala: – Proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+) – Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL – Edema – Dapat disertai hiperkolesterolemia

• Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder (mengikuti penyakit sistemik antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein) KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia

Starling’s Law of the Capillary Pc = hydrostatic pressure of capillary πc = protein (oncotic) pressure of capillary Pi = hydrostatic pressure of interstitial fluid πi = protein osmotic (oncotic) pressure of the interstitial fluid Net movement out of capillary into interstitium (ml/min)

FLOWnet = (Pc – Pi) – (πc – πi) Basically, movement is governed by (hydrostatic pressure – protein (oncotic) pressure) • • •

• •

Capillary endothelium is permeable to water Water, ions, small molecules diffuse across Capillaries are relatively impermeable to proteins Plasma protein remains in vascular system to exert oncotic pressure The oncotic pressure tends to cause fluid to move from interstitial fluid to plasma Capillary pressure tends to cause fluid to move from plasma to interstitial fluid

A

Filtration

Pc

πc

Pi

V

πi

Absorption

• Edema : Accumulation of fluid in interstitial space (due to filtration out of the capillaries) • Usually caused by a disruption in Starling forces, that exceeds the ability of lymphatic system to return it to the circulation

Decreased plasma protein osmotic pressure (severe liver failure, nephrotic syndrome)

Increased capillary protein permeability (due to release of vasoactive substances) (e.g. burns, trauma, infection)

Increased capillary pressure (failure of venous pumps, heart failure)

parasitic infection of lymph nodes (filariasis)

EDEMA

Nefrotik vs Nefritik

Diagnosis • Anamnesis : Bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai atau seluruh tubuh. Penurunan jumlah urin. Urin dapat keruh/kemerahan • Pemeriksaan Fisik : Edema palpebra, tungkai, ascites, edema skrotum/labia. Terkadang ditemukan hipertensi • Pemeriksaan Penunjang : Proteinuria masif ≥ 2+, rasio albumin kreatinin urin > 2, dapat disertai hematuria. Hipoalbumin (200 mg/dl). Penurunan fungsi ginjal dapat ditemukan.

Definisi pada Sindrom Nefrotik • Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu • Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu • Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan • Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun

Definisi pada Sindrom Nefrotik • Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut • Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia

Tatalaksana

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia

133. Imunisasi Guide to Contraindications1 and Precautions1 to Commonly Used Vaccines*,† Vaccine

Contraindications1

Hepatitis B (HepB)

Rotavirus (RV5 [RotaTeq], RV1 [Rotarix])

Haemophilus influenza type b (Hib)

Precautions1

Severe allergic reaction (e.g., anaphylaxis) after a previous dose or to a vaccine component

Severe allergic reaction (e.g., anaphylaxis) after a previous dose or to a vaccine component Severe combined immunodeficiency (SCID) History of intussusception

Severe allergic reaction (e.g., anaphylaxis) after a previous dose or to a vaccine component Age 3 hours within 48 hours after receiving a previous dose of DTP/DTaP

http://www.cdc.gov/vaccines/hcp/admin/contraindications-vacc.html

Guide to Contraindications1 and Precautions1 to Commonly Used Vaccines*,† Vaccine

Contraindications1

Precautions1

Inactivated Severe allergic reaction (e.g., anaphylaxis) after a poliovirus vaccine previous dose or to a vaccine component (IPV)

Pneumococcal For PCV13, severe allergic reaction (e.g., (PCV13 or PPSV23) anaphylaxis) after a previous dose of PCV7 or PCV13 or to a vaccine component, including to any vaccine containing diphtheria toxoid For PPSV23, severe allergic reaction (e.g., anaphylaxis) after a previous dose or to a vaccine component

Moderate/severe acute illness with/without fever

Measles, mumps, rubella (MMR)4

Moderate/severe acute illness with/without fever Recent (within 11 months) receipt of antibody-containing blood product (specific interval depends on product)7 History of thrombocytopenia or thrombocytopenic purpura Need for tuberculin skin testing8

Severe allergic reaction (e.g., anaphylaxis) after a previous dose or to a vaccine component Known severe immunodeficiency (e.g., from hematologic and solid tumors, receipt of chemotherapy, congenital immunodeficiency, or long-term immunosuppressive therapy5 or patients with human immunodeficiency virus [HIV] infection who are severely immunocompromised)6 Pregnancy

http://www.cdc.gov/vaccines/hcp/admin/contraindications-vacc.html

 

Moderate/severe acute illness with/without fever Pregnancy

Guide to Contraindications1 and Precautions1 to Commonly Used Vaccines*,†

Vaccine

Contraindications1

Varicella (Var)4

 

Precautions1

Severe allergic reaction (e.g., anaphylaxis) after a  previous dose or to a vaccine component Known severe immunodeficiency (e.g., from  hematologic and solid tumors, receipt of chemotherapy, primary or acquired immunodeficiency, or long-term  5 immunosuppressive therapy or patients with HIV infection who are severely immunocompromised)6 Pregnancy

Moderate/severe acute illness with/without fever Recent (within 11 months) receipt of antibody-containing blood product (specific interval depends on product)7 Receipt of specific antivirals (i.e., acyclovir, famciclovir, or valacyclovir) 24 hours before vaccination; avoid use of these antiviral drugs for 14 days after vaccination.

Hepatitis A (HepA)

Severe allergic reaction (e.g., anaphylaxis) after a previous dose or to a vaccine component

Moderate/severe acute illness with/without fever

Influenza, inactivated injectable (IIV)

Severe allergic reaction (e.g., anaphylaxis) after a previous dose of any IIV or LAIV or to a vaccine component, including egg protein

Moderate/severe acute illness with/without fever History of GBS within 6 weeks of previous influenza vaccination Persons who experience only hives with exposure to eggs may receive RIV (if age 18–49) or, with additional safety precautions, IIV.9

 

Influenza, recombinant (RIV)

Severe allergic reaction (e.g., anaphylaxis) after a previous dose of RIV or to a vaccine component. RIV does not contain any egg protein.9

http://www.cdc.gov/vaccines/hcp/admin/contraindications-vacc.html

 

Moderate/severe acute illness with/without fever History of GBS within 6 weeks of previous influenza vaccination

Guide to Contraindications1 and Precautions1 to Commonly Used Vaccines*,† Vaccine

Contraindications1

Influenza, live attenuated (LAIV)4, 9

Human papillomavirus (HPV)

Precautions1

Severe allergic reaction (e.g., anaphylaxis) after a  previous dose of IIV or LAIV or to a vaccine component, including egg protein  Conditions for which the ACIP recommends against use, but which are not contraindications in  vaccine package insert: immune suppression, certain chronic medical conditions such as asthma, diabetes, heart or kidney disease, and pregnancy4, 9 Severe allergic reaction (e.g., anaphylaxis) after a previous dose or to a vaccine component

 

Moderate/severe acute illness with/without fever History of GBS within 6 weeks of previous influenza vaccination Receipt of specific antivirals (i.e., amantadine, rimantadine, zanamivir, or oseltamivir) 48 hours before vaccination. Avoid use of these antiviral drugs for 14 days after vaccination. Moderate/severe acute illness with/without fever Pregnancy

Meningococcal:  conjugate (MCV4), polysaccharide (MPSV4)

Severe allergic reaction (e.g., anaphylaxis) after a previous dose or to a vaccine component

Moderate/severe acute illness with/without fever

Severe allergic reaction (e.g., anaphylaxis) to a vaccine component Known severe immunodeficiency (e.g., from hematologic and solid tumors, receipt of chemotherapy, or long-term immunosuppressive therapy5 or patients with HIV infection who are severely immunocompromised). Pregnancy

Moderate/severe acute illness with/without fever Receipt of specific antivirals (i.e., acyclovir, famciclovir, or valacyclovir) 24 hours before vaccination; avoid use of these antiviral drugs for 14 days after vaccination.

Zoster (HZV) 4

http://www.cdc.gov/vaccines/hcp/admin/contraindications-vacc.html

134. Croup • Croup (laringotrakeobronkitis viral) adalah infeksi virus di saluran nafas atas yang menyebabkan penyumbatan • Merupakan penyebab stridor tersering pada anak • Gejala: batuk menggonggong (barking cough), stridor, demam, suara serak, nafas cepat disertai tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

Steeple sign

Pemeriksaan • Croup is primarily a clinical diagnosis • Laboratory test results rarely contribute to confirming this diagnosis. The complete blood cell (CBC) count may suggest a viral cause with lymphocytosis • Radiography : verify a presumptive diagnosis or exclude other disorders causing stridor. – The anteroposterior (AP) radiograph of the soft tissues of the neck classically reveals a steeple sign (also known as a pencil-point sign), which signifies subglottic narrowing – Lateral neck view may reveal a distended hypopharynx (ballooning) during inspiration

• Laryngoscopy is indicated only in unusual circ*mstances (eg, the course of illness is not typical, the child has symptoms that suggest an underlying anatomic or congenital disorder)

Klasifikasi dan Penatalaksanaan Ringan • Gejala: – – – –

Demam Suara serak Batuk menggonggong Stridor bila anak gelisah

• Terapi: – Rawat jalan – Pemberian cairan oral, ASI/makanan yang sesuai – Simtomatik

Berat • Gejala: – Stridor saat istirahat – Takipnea – Retraksi dinding dada bagian bawah

• Terapi: – Steroid (dexamethasone) dosis tunggal (0,6 mg/kg IM/PO) dapat diulang dalam 6-24 jam – Epinefrin 1:1000 2 mL dalam 23 mL NS, nebulisasi selama 20 menit

WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. WHO; 2008.

Pada anak dengan croup berat yang memburuk, dipertimbangkan pemberian: 1. Oksigen – Hindari memberikan oksigen kecuali jika terjadi obstruksi saluran respiratorik. – Tanda tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat dan gelisah merupakan indikasi dilakukan trakeostomi (atau intubasi) daripada pemberian oksigen. – Penggunaan nasal prongs atau kateter hidung atau kateter nasofaring dapat membuat anak tidak nyaman dan mencetuskan obstruksi saluran respiratorik. – Walaupun demikian, oksigen harus diberikan, jika mulai terjadi obstruksi saluran respiratorik dan perlu dipertimbangkan tindakan trakeostomi.

Pada anak dengan croup berat yang memburuk, dipertimbangkan pemberian: 2. Intubasi dan trakeostomi – Jika terdapat tanda obstruksi saluran respiratorik seperti tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat dan anak gelisah, lakukan intubasi sedini mungkin. – Jika tidak mungkin, rujuk anak tersebut ke rumah sakit yang memungkinkan untuk dilakukan intubasi atau tindakan trakeostomi dengan cepat. – Jika tidak mungkin, pantau ketat anak tersebut dan pastikan tersedianya fasilitas untuk secepatnya dilakukan trakeostomi, karena obstruksi saluran respiratorik dapat terjadi tiba-tiba. – Trakeostomi hanya boleh dilakukan oleh orang yang berpengalaman.

135. Demam Tifoid • • • • •

Etiologi : 96% disebabkan Salmonella typhi, sisanya ole S. paratyphi Prevalens 91% kasus terjadi pada usia 3-19 tahun Penularan : fekal-oral Masa inkubasi : 10-14 hari Gejala – Demam naik secara bertahap (stepwise) setiap hari, suhu tertinggi pada akhir minggu pertama. Minggu kedua demam terus menerus tinggi – Delirium (mengigau), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare, atau konstipasi, muntah, perut kembung, – Pada kasus berat: penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus

• Pemeriksaan Fisik – Kesadaran menurun, delirium, lidah tifoid (bagian tengah kotor, pinggir hiperemis), meteorismus, hepatomegali, sphlenomegali (jarang). Kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru

Pedoman Pelayanan Medis IDAI

• Clinical features: – Step ladder fever in the first week, the persist – Abdominal pain – Diarrhea/constipation – Headache – Coated tongue – Hepatosplenomegaly – Rose spot – Bradikardia relatif

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.

Pemeriksaan Penunjang • Darah tepi perifer – Anemia, terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau perdarahan usus – Leukopenia, Limfositosis reaktif, Trombositopenia (pada kasus berat)

• Pemeriksaan serologis – Serologi widal : kenaikan titer S.typhi O 1:160 atau kenaikan 4x titer fase akut ke konvalesens, banyak positif-negatif palsu. Bahkan kadar baku normal di berbagai tempat endemis cenderung berbeda-beda dan perlu penyesuaian – Kadar IgG-IgM (Typhi-dot) – Tubex Test

• Pemeriksaan biakan Salmonella – The criterion standard for diagnosis of typhoid fever has long been culture isolation of the organism. Cultures are widely considered 100% specific – Biakan darah pada 1-2 minggu perjalanan penyakit. Biakan sumsum tulang masih positif hingga munggu ke-4

• Pemeriksaan radiologis – Foto toraks (kecurigaan pneumonia) – Foto polos abdomen (kecurigaan perforasi)

Pedoman Pelayanan Medis IDAI

Tatalaksana Demam Tifoid

Tatalaksana Demam Tifoid

136. Tetrasklin • Tetracycline is a broad-spectrum antibiotic that crosses placental barrier • It has a wide range of adverse effects and is known for a unique property of being incorporated into skeletal and dental tissues at sites of active mineralization and staining of these tissues. • Under ultraviolet irradiation, the tissues exhibit fluorescence, a characteristic feature of tetracycline molecule. • Because of these adverse effects, its administration is contraindicated during pregnancy • Discoloration of teeth was reported in children who were on long-term tetracycline therapy Venilla v et.al. Tetracycline-Induced Discoloration of Deciduous Teeth: Case Series. Journal of International Oral Health 2014; 6(3):115-119

• The discoloration is due to the formation of tetracycline-calcium orthophosphate complex. • Tetracycline is incorporated into the tooth through the blood to the coronal portion of the pulp to the subodontoblastic area ending into pre-dentin. • AAP recommendation  preparations of the tetracycline family should not be administered to children 3 bulan. Gejala tidak spesifik, dapat hanya ada 1 atau 2 dari gejala berikut: sakit kepala kronik, postnasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan tuba, sinobronkitis, pada anak gastroenteritis akibat mukopus yang tertelan.

Sinusitis dentogen

Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris, dan hanya terpisahkan oleh tulang tipis. Infeksi gigi rahang atas mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.

Sinusitis jamur

Faktor risiko:pemakaian antibiotik, kortikosteroid, imunosupresan, dan radioterapi.Ciri: sinusitis unilateral, sulit sembuh dengan antibiotik, terdapat gambaran kerusakan tulang dinding sinus, atau bila ada membran berwarna keabuan pada irigasi antrum. Buku putih Ajar THT-KL FKUI; 2007.

Normal sinonasal mucociliary clearance is predicated on (1) ostial patency, (2) ciliary function, and (3) mucus consistency. Impairment of any of these factors at the osteomeatal complex may result in mucus stasis, which under the proper conditions induces bacterial growth.

197. Rhinosinusitis • Sebagian besar sinusitis akut, terjadi sekunder karena: 1. 2. 3.

common cold; influenza; measles, whooping cough, etc.

• Pada 10% kasus infeksi berasal dari gigi: 1. 2.

Abses apikal, Cabut gigi.

• Organisme penyebab umumnya: Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis. Pada infeksi gigi, bakteri anaerob dapat ditemukan.

197. Rhinosinusitis • Pemeriksaan penunjang rhinosinusitis: – Foto polos: posisi waters, PA, lateral. Tapi hanya menilai sinus-sinus besar (maksila & frontal). Kelainan yang tampak: perselubungan, air fluid level, penebalan mukosa. – CT scan: mampu menilai anatomi hidung & sinus, adanya penyakit dalam hidung & sinus, serta perluasannya  gold standard. Karena mahal, hanya dikerjakan untuk penunjang sinusitis kronik yang tidak membaik atau pra-operasi untuk panduan operator. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.

197. Rhinosinusitis

198. Rhinitis Alergi Deskripsi

• Rhinitis alergi adalah inflamasi yang Diagnosis Anamnesis: Serangan bersinpenyakit berulang terutama bila terpajan alergen disertai rinore yang encer dan banyak, tersumbat, gatal, disebabkan oleh reaksi alergihidung pada pasien lakrimasi, riwayat atopi atopiPF yang sebelumnya sudah tersensitisasi dan Rinoskopi anterior: Mukosa edema, basah, pucat/livid, sekret banyak, allergic shiner, allergic salute, allergic crease, facies adenoid, dengan alergen yang sama serta geographic tongue, cobblestone appearance Penunjang: Darahsuatu tepi: eosinofil meningkat, IgE spesifik meningkat, dilepaskannya mediator kimia ketika Sitologi hidung, Prick test, Alergi makanan : food challenge test terjadi paparan berulang.

Terapi

• Hindari faktor pencetus • Medikamentosa (antihistamin H1, oral dekongestan, kortikosteroid topikal, sodium kromoglikat) • Operatif konkotomi (pemotongan sebagian konka inferior) bila konka inferior hipertrofi berat. • Imunoterapi dilakukan pada kasus alergi inhalan yang sudah tidak responsif dengan terapi lain. Tujuan imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE.

Rhinitis Alergi • Klinis – Pada rhinoskopi anterior: mukosa edema, basah, pucat/livid – Allergic shiner: bayangan gelap dibawah mata akibat stasis vena – Allergic salute: anak menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan karena gatal – Allergic crease: penggosokan hidung berulang akan menyebabkan timbulnya garis di dorsum nasi sepertiga bawah.

Rhinitis alergi

Rinitis Alergi

Allergic rhinitis management pocket reference 2008

Rinitis Alergi

199. Kelainan Telinga Luar •

Pseudokista • Benjolan di daun teling yang disebabkan oleh kumpulan cairan kekuningan di antara lapisan perikondrium & tulang rawan telinga. • Biasanya pasien datang karena benjolan di daun telinga yang tidak nyeri & tidak diketahui penyebabnya. • Terapi: cairan dikeluarkan secara steril, lalu dibalut tekan sengan sem*n gips selama 1 minggu supaya perikondrium melekat pada tulang rawan kembali.

199. Kelainan Telinga Luar • Hematoma of the auricle – – – –

Severe blunt trauma to the auricle may cause hematoma. Edematous, fluctuant, & ecchymotic pinna. If left untreated may cause infection  perichondritis. Th/: incision & drainage/needle aspiration  pressure bandage

• Perichondritis of the Auricle – Most often as a result of trauma, with penetration of the skin & a contaminated wound. – The auricle becomes hot, red, swollen, & tender after the contaminating injury – infection under the perichondrium  necrosis of the cartilage  fibrosis  severe auricular deformity (cauliflower ear) – Th/: antibiotics. If there is fluctuance from pus  drainage.

• Keloid – May develop at the same piercing site on the lobe.

200. Rhinitis Kronik/ Atrofi • Infeksi hidung kronik, ditandai oleh atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka • Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga berbentuk krusta berbau busuk • Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitel toraks bersilia menjadi epitel kubik/gepeng berlapis, silia menghilang, lapisan submukosa lebih tipis, kelenjar atrofi

200. Rhinitis Atrofi • Etiologi: infeksi kuman spesifik (Klebsiella, Stafilokokus, Pseudomonas), defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronik, kelainan hormonal, penyakit kolagen • Gejala: napas berbau, ingus kental berwarna hijau, kerak (krusta) hijau, gangguan penghidu, sakit kepala, hidung tersumbat • Pengobatan: konservatif dan operatif

Diagnosis

Clinical Findings

Rinitis alergi

Riwayat atopi. Gejala: bersin, gatal, rinorea, kongesti. Tanda: mukosa edema, basah, pucat atau livid, sekret banyak.

Rinitis vasomotor

Gejala: hidung tersumbar dipengaruhi posisi, rinorea, bersin. Pemicu: asap/rokok, pedas, dingin, perubahan suhu, lelah, stres. Tanda: mukosa edema, konka hipertrofi merah gelap.

Rinitis hipertrofi Hipertrofi konka inferior karena inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, atau dapat juga akrena rinitis alergi & vasomotor. Gejala: hidung tersumbat, mulut kering, sakit kepala. Sekret banyak & mukopurulen. Rinitis atrofi / ozaena

Disebabkan Klesiella ozaena atau stafilokok, streptokok, P. Aeruginosa pada pasien ekonomi/higiene kurang. Sekret hijau kental, napas bau, hidung tersumbat, hiposmia, sefalgia. Rinoskopi: atrofi konka media & inferior, sekret & krusta hijau.

Rinitis Hidung tersumbat yang memburuk terkait penggunaan medikamentosa vasokonstriktor topikal. Perubahan: vasodilatasi, stroma edema,hipersekresi mukus. Rinoskopi: edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.

Analisis Soal • Pada pasien didapatkan hidung tersumbat dan pada rinoskopi ditemukan gumpalan darah, kotoran hidung yang besar dan mukosa pucat sehingga diagnosis pasien ini adalah rinitis atrofi. • Gumpalan darah yang timbul diperkirakan karena adanya krusta kehijauan lengket pada rinitis atrofi yang jika dikeluarkan bisa menyebabkan perdarahan. • Tidak dipikirkan sebagai rhinitis alergi karena rhinitis alergi menghasilkan sekret hidung yang cair dan tidak ada perdarahan.

Pembahasan UC 2 CBT Mei 2019 PDF - PDFCOFFEE.COM (2024)
Top Articles
Latest Posts
Article information

Author: Patricia Veum II

Last Updated:

Views: 5233

Rating: 4.3 / 5 (44 voted)

Reviews: 83% of readers found this page helpful

Author information

Name: Patricia Veum II

Birthday: 1994-12-16

Address: 2064 Little Summit, Goldieton, MS 97651-0862

Phone: +6873952696715

Job: Principal Officer

Hobby: Rafting, Cabaret, Candle making, Jigsaw puzzles, Inline skating, Magic, Graffiti

Introduction: My name is Patricia Veum II, I am a vast, combative, smiling, famous, inexpensive, zealous, sparkling person who loves writing and wants to share my knowledge and understanding with you.